Senin, 23 Mei 2016

ANALISIS CERPEN “Kamboja Di Atas Nisan” Karya “ Herman RN”



ANALISIS STRUKTUR DALAM CERPEN “Kamboja Di Atas Nisan” Karya “ Herman RN”
A.    Deskripsi Data
Aceh sudah sejak lama dikenal sebagai daerah yang banyak satrawan-sastrawan ternama yang diperhitungkan dalam sastra indonesia. Kenyataan ini didukung keikutsertaan yang berasal dari Aceh dalam perkembangan sastra modern Indonesia. Nama-nama seperti Doel CP Alisah, Herman RN, Salman Yoga S dan Sulaiman Tripa.
a.       Biografi Tokoh
1.      Herman RN
Herman RN lahir tgl 20 April 1983 di Ujung Pasir, Kluet Selatan, Aceh Selatan. Ia adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).
Hampir setiap dongeng yang didengarnya dari neneknya, ia tuliskan kembali di buku sekolahnya. Saat kecil, dia juga suka membaca. Setiap membaca karya sastra, sering timbul hasrat di hatinya untuk menjadi penulis buku.
Dia telah berkecimpung dalam dunia tulis-menulis saat di bangku kuliah, tepatnya setelah tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004. Untuk memperdalam tulisannya, dia bergabung bersama Komunitas Tikar Pandan dalam program Sekolah Menulis "Dokarim". Sebulan mengikuti sekolah menulis Dokarim, Herman mencoba mengirimkan karyanya ke harian lokal. Ketika itu, cerpen perdananya "Prahara di Musim Depik" dimuat harian Aceh Kita. Pada bulan ke dua mengikuti sekolah menulis, opininya "Dalam Bincang Budaya (Kesenian) Aceh" dimuat pula di Serambi Indonesia. Sejak saat itu, esai dan opininya dimuat di media surat kabar di Aceh.
Ketika belajar Sekolah Dokarim, Herman mencoba mengikuti lomba cipta cerpen pemuda tingkat nasional yang diadakan oleh CWI dan Deputi Kementerian Pemuda dan Olahraga RI tahun 2005. Ternyata hasilnya di luar dugaan. Dia berhasil memboyong piagam penghargaan sebagai juara III sekaligus diundang dalam workshop menulis kreatif di Jakarta. Cerpennya tersebut berjudul "Abu Nipah" yang dibukukan dalam La Runduma (CWI 2005). Kemudian, pada awal 2006, naskah cerita anaknya memperolah juara III se-Aceh.
Dia pernah bergabung dalam kesenian tutur PMTOH Aceh Modern, sebuah kelompok tutur kata hikayat yang digagas oleh Komunitas Tikar Pandan. Selama menjadi tukang cerita PMTOH, Herman sudah beberapa kali memainkan hikayat yang dikarangnya secara spontan di berbagai even. Bersama kelompok "Penutur Tujuh TV Eng Ong", dia mengunjungi barak-barak pengungsian Banda Aceh dan Aceh Besar memainkan cerita Kota Mahilaropyam (2005). Kemudian, pada Maret-April 2006 membawa hikayat perdamaian keliling Aceh bersama Agus Nur Amal, Muda Balia, Apa Kaoy, Udin Pelor, Dedi Besi, dan Todhax. Karya-karyanya antara lain terkumpul dalam Sepuluh Cermin Merah (essai, 2007)), Kitab Mimpi (Puisi, 2007), Geulanggang Radio (Naskah Drama Radio, 2007), Meusyen (Cerpen, 2007). Bukunya cerita anak "Indahnya Nikmat Tuhan" (Lapena, 2006). Karya-karyanya juga dimuat di Republika Serambi Indonesia, Harian Aceh, Harian Analisa, Koran Aceh Kita, Rakyat Aceh, Majalah Aceh Magazine, Majalah Gong, Tablodi Kontras, bulletin kampus--Detak Unsyiah dan Cakra.
Beberapa prestasi lainnya di antaranya juara I lomba baca puisi tingkat mahasiswa yang diadakan oleh LDK Al-Mudarris FKIP Unsyiah, juara II baca puisi Pekan Seni Mahasiswa Indonesia (Peksimi) tingkat Unsyiah (2004), harapan I menulis cerita rakyat tingkat nasional oleh Pusat Bahasa Jakarta (2006), juara I menulis cerita rakyat se-Aceh versi Dinas Kebudayaan Aceh (2006). Selanjutnya, pada tahun 2008, Herman kembali mengikuti lomba menulis cerita rakyat tingkat nasional yang diadakan oleh Pusat Bahasa Jakarta. Karyanya, "Putri Babi" mendapat juara III.
Saat ini, Herman tercatat sebagai editor berita (redaktur) di Harian Aceh. Dia juga dipercayakan menjadi pengelola media adat "tuhoe"- sebuah buletin yang diterbitkan oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh. Selama bergabung di JKMA Aceh (2007), dia juga dipercayakan menjadi editor buku Umar Emtas, "Peradaban Aceh (Tamdun) II".
Di samping itu, editor buku "Anti-Tokoh" (Aneuekmulieng Publishing, 2007) ini juga pernah dipercayakan menjadi fasilitator dan pemateri di beberapa kegiatan sastra dan kepenulisan. Di antaranya, fasilitator pelatihan menulis untuk umum di Suramoe Teumuleh—program Katahati Institute (2007), pemateri tamu di sekolah menulis Dokarim untuk angkatan 2007, pemateri/fasilitator dalam kegiatan Sanggar Sastra untuk siswa dan guru Bahasa Indonesia yang diadakan oleh Balai Bahasa Banda Aceh (2007).
Dalam dunia akting, Herman bergiat di Teater Nol dan Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia (Gemasastrin) Unsyiah. Beberapa kali sudah melakukan pementasan teater dan pada tahun 2004 ikut serta dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) VII di Lampung. Dia juga pernah main sinetron Dalam Dekapan-Mu (TPI, 2005) dan iklan layanan masyarakat di TVRI Aceh. Juga tampil menjadi pembicara tentang "Seni Tutur dan Cerita Rakyat" di Aceh Tivi (2008).

b.      Sinopsis Cerpen “Kamboja Di Atas Nisan” Karya “Herman RN”
Di suatu siang hari dengan terik nya panas matahari, seorang gadis yang bernama kamboja tengah menangis di atas nisan ibunya. ia mencurahkan apa yang ada di dalam hatinya. Hingga ia menceritakan semua perjuangan-perjuangan serta penderitaan ibunya semasa mengandungnya.
Sambil memegang nisan ibunya dan meremas-remas gundukan tanah gadis ini menangis terisak karena tidak mampu menahan air mata dari matanya itu. Karena telah ditinggalkan oleh ayah dan ibunya karena dahulu kelompok bersenjata masuk ke kampungnya.
Hingga sekarang ia harus menghadapi pahitnya peristiwa di mana pemakaman ibunya akan diratakan oleh pemerintah kabupaten. Sangat sakit ia harus menahan tangis yang begitu dalam. Ia tidak tahu bagaimana cara agar ia mampu mempertahankan pemakaman ibunya sendiri supaya tidak digusur oleh pemerintah kabupaten.
      Hingga pada saat ia sedang di atas makam sang ibu, datang lelaki yang mendekat ke arahnya. Ternyata merekalah yang akan menggusur lokasi itu. Dengan geramnya kamboja berteriak dan mencurahkan apa yang dirasakannya kepada lelaki itu. Dan akhirnya lelaki itu pergi meninggalkan lokasi pemakaman.

B.     Analisis Data
1.      Cerpen “Kamboja Di Atas Nisan” Karya “Herman RN”
a.       Struktur Cerpen
1.      Alur
Untuk menemukan struktur alur yang digunakan oleh pengarang di dalam cerpen ini, peneliti berusaha melihat rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerpen. Rangkaian peristiwa tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Tokoh (kamboja) menyusuri lekuk-lekuk batu dan meremas-remas gundukan tanah di hdapannya sambil menahan air mata.
2.      Tokoh (kamboja) bercerita kisah ketika ibunya melahirkan dia di atas gundukan tanah sambil menahan tangis.
2.1  Mengingat kejadian lalu ibunya mengungsi ketika sedang mengandung kamboja karena kelompok bersenjata datang ke kampungnya.
2.2  Kamboja dilahirkan dalam hutan di pinggir kampung.
2.3  Ibu kamboja di tolong oleh Nek Mah.
2.4  Nek Mah membatu kelahiran Kamboja saat itu.
3.      Tokoh menahan nangis dan badannya bergetar dengan tangan kanan menyentuh nisan serta tangan kirinya meremas gundukan tanah.
4.      Tokoh menceritakan tentang ayahnya meninggalkan mereka.
5.      Tokoh (kamboja) tidak dapat menahan air matanya dan kemudian menangis hingga sesenggukkan.
6.      Tokoh (kamboja) menjatuhkan kepalanya di atas batu nisan.
7.      Tokoh (kamboja) membenturkan kepalanya ke batu itu hingga beberapa kali.
8.      Tokoh membisikkan sesuatu dengan suara yang sangat pelan.
9.      Tokoh diam setelah mengucapkan kata-kata dengan tubuh yang bergetar.
10.  Tokoh tengadah ke langit hingga tidak berkedip.
11.  Tokoh setengah berteriak mencurahkan isi hatinya.
12.  Tokoh bersimpuh di hadapan nisan ibunya dengan leher menekuk dengan tangisan yang deras.
13.  Tokoh bercerita di atas nisan bahwa makam ibunya akan diratakan.
13.1     Dua pekan lalu rombongan dari kabupaten mendataangi kampung mereka.
13.2     Akan membangun hotel berstandar Internasional di lokasi pemakaman.
14.  Tokoh menangis semakin menjadi-jadi, ia bingung akan di bawa kemana mayat ibunya.
15.  Tokoh diam dan menatap nisan ibunya dari ujung atas hingga ke ujung bawah.
16.  Tokoh bangun dan berpindah ke bagian kaki ibunya dan mencium nisan di kaki ibunya serta berbicara di hadapan nisan ibunya.
17.  Tiba-tiba ada suara kaki melangkah dan mendekati kamboja.
18.  Tokoh bangun dan berteriak ke hadapan suara kaki yang melangkah mendekatinya ternya mereka yang akan menggusur lokasi pemakaman.
19.  Lelaki yang melangkah mendekat itu pun pergi meninggalkan makam.

                                  2
                 1                             3-12            13       14-19  

                                                                                      
Bagan 4.1 Urutan Sekuen Cerpen “Kamboja Di Atas Nisan”

Cerpen ini terdiri dari 19 sekuen pada saat penceritaan dan 6 sekuen berada pada sorot balik. Jadi seluruhnya ada 25 sekuen. Apabila diperhatikan, jumlah sekuen maju lebih banyak darp pada sekuen sorot balik. Maka jelaslah kronologis alur cerpen ini didudun menggunakan alur maju.

2.   Penokohan
a.       Kamboja
     Kamboja merupakan sosok gadis yang ditinggalkan ibunya. Ibunya meninggal beberapa waktu lalu. Seketika mengandungnya dulu ibunya begitu banyak cobaan yang dihadapi hingga sekarang ketika telah di makamkan masih saja ada yang ingin mengganggunya. Lokasi makam itu akan di gusur oleh pemerintah kabupaten.
“Ibu, jika setelah berbaring pun ketenanganmu mesti terusik, katakan pada tuhan biarkan aku yang menggantikan kau di sini, lirihnya”

“Ibu, bagaimana caranya mengatakan kepada mereka tentang penderitaanmu.”
“Ibu bagaimana caranya aku mempertahankanmu besok pagi tempat ini akan diratakan.”
     Berdasarkan kutipan di atas menggambarkan bahwa kamboja adalah gadis yang lugu dan bingung dengan keadaan serta cobaan yang menimpanya.

3.      Latar
Ruang lingkup sebuah karya sastra fiksi hakikatnya adalah keberadaan sebuah dunia yang dibangun oleh si pengarang. Latar menyangkut ruang dimana peristiwa itu berlangsung. Oleh karena itu, latar tidak hanya merupakan bentukan sebuah tempat yang diciptakan; melainkan ruang waktu dan latar budaya bisa saja muncul dalam latar itu. Pada bagian latar ini akan diuraikan latar tempat dan latar waktu yang menjadi latar dari peristiwa yang dialami oleh para tokoh di dalam cerpen ini. Latar tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a.       Latar tempat
Pemakaman merupakan suatu lokasi yang menggambarkan tempat peristiwa. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
Tubuhnya gemetar. Perlahan tangan perempuan itu bergerak, menyusuri lekuk-lekuk batu tanah gundukan di hadapannya. Tangannya yang sebelah lagi meremas-remas tanah”

“Kamboja menjatuhkan kepalanya di batu nisan tersebut. Beberapa kali ia benturkan kepalanya ke batu itu.”

Berdasarkan kutipan di atas pengarang menggambarkan latar tempat yang ada di dalam cerita. Sehingga membantu pembaca untuk mengetahui tempat peristiwa itu terjadi.

b.      Latar waktu
Latar waktu digunakan dengan tujuan melukiskan kapan suatu peristiwa terjadi. Latar waktu pada cerpen ini sangat erat kaitannya dengan latar tempat yang sudah dipaparkan sebelumnya. Latar waktu dalam cerpen ini dimulai pada saat Kamboja berbisik di atas nisan ibunya.
“Suaranya pelan. Hampir tak terdengar di antara angin siang yang sedikit kencang.”
“Kamboja berhenti sejenak. Ia tengadah ke langit. Sinar matahari tepat menghunjam retina mata Kamboja. Ia tak berkedip. Hanya memicingkan mata sedikit.”
Berdasarkan kutipan di atas menggambarkan bahwa waktu di dalam cerita adalah siang hari. Tampak dari kata angin siang yang sedikit kencang dan sinar matahri menghunjam retina mata kamboja. Latar tempat dan latar waktu di atas sangat berpengaruh terhadap alur cerita. Keduanya menunjukkan adanya kelogisan cerita karena setiap peristiwa tidak akan pernah terlepas dari latar tempat dan waktu.

4.      Tema
Tema merupakan pokok permasalahan atau konflik sentral yang terkandung di dalam cerpen. Karena tema cerita tidak secara langsung disampaikan oleh pengarang, maka untuk mempermudah menentukan tema, peneliti mencoba mengemukakan konflik utama yang mendukung terbentuknya sebuah tema. Konflik tersebut adalah sebagai berikut.
”Ibu, bagaimana lagi caranya mengatakan kepada mereka tentang penderitaanmu, penderitaan kaum perempuan? Lihat, Ibu! Kau besarkan aku tanpa ayah. Kau bekerja upahan untuk memberiku makan. Kau sekolahkan aku hingga tingkat menengah. Kau pula yang mengajarkan aku agar hidup tak mudah menyerah.”

”Ibu, bagaimana caranya aku mempertahankanmu? Besok pagi, tempat peristirahatanmu ini akan diratakan. Kau ingat dulu waktu kampung kita berkecamuk? Orang-orang kampung berperang dengan tentara pemerintah. Kini, tentara pemerintah pula yang akan menjarah rumahmu ini, Ibu.”
Berdasarkan kutipan di atas jelaslah tema yang diangkat pengarang yaitu tentang “ perjuangan seorang anak yang rela menunggu pemakaman ibunya setiap hari dan menangis terisak untuk menjaga makan sang ibu agar tidak digusur.”

LAMPIRAN 1.  OBJEK PENELITIAN
KAMBOJA DI ATAS NISAN
Oleh Herman RN
Tubuhnya gemetar. Perlahan tangan perempuan itu bergerak, menyusuri lekuk-lekuk batu tanah gundukan di hadapannya. Tangannya yang sebelah lagi meremas-remas tanah. Badannya kian bergetar hebat tatkala ia berusaha menahan air yang nyaris melabrak kelopak matanya.
”Ibu, apa karena kita perempuan?” lirihnya.
Gadis itu menghela napas. Kamboja, demikian namanya. Ia anak tunggal. ”Ibu, kau sudah melahirkanku dalam keadaan susah payah. Saat itu kita harus mengungsi karena kampung kita didatangi kelompok bersenjata. Orang-orang kampung kita pun diklaim sebagai pemberontak. Ibu lari terbirit-birit sambil membawaku dalam perut ibu. Begitu cerita yang kudengar dari Nek Mah, bidan kampung kita,” ucapnya sambil menahan tangis.
Kamboja dilahirkan dalam hutan di pinggir kampungnya. Saat itu, mereka mengungsi hingga empat puluh hari. Ia lahir pada hari kelima di pengungsian. Saat itu, ibu Kamboja ditolong oleh Nek Mah, seorang perempuan setengah baya yang sebenarnya bukan bidan, pun bukan dokter. Kebetulan Nek Mah pernah diajarkan sebuah isim* oleh orangtuanya. Isim itu disebut seulusoh* dalam bahasa mereka. Dengan keahlian seulusoh itulah, Nek Mah membantu ibu Kamboja melahirkan. Kamboja lahir sungsang. Kakinya lebih dahulu menonjol, baru kemudian kepala.
”Ibu, kata Nekmah, ibu sangat kesakitan ketika melahirkan aku. Perut ibu serasa dililit akar. Perih. Nek Mah pula yang mengatakan kalau perih ibu ditolong dengan daunmariam. Ibu, bisa kubayangkan menderitanya ibu saat itu. Aku yang lahir sungsang, ibu yang kesakitan. Sedangkan ayah? Ibu….”
Kamboja masih berusaha menahan tangis. Tubuhnya bergetar semakin kencang. Tangan kanannya terus menelusuri lekuk batu nisan di tanah gundukan di hadapannya. Tangan kirinya semakin kuat mencengkeram tanah di sampingnya.
”Aku tak bisa menyalahkan ayah, Ibu. Ayah memang meninggalkan ibu, meninggalkan kita. Tapi, ayah terpaksa. Kaum laki tak boleh hidup di kampung kita waktu itu. Semua lelaki lari dan bersembunyi. Makanya banyak yang memilih bergabung dengan kelompok pemberontak. Perempuan diminta untuk di rumah, jika tak mau mengungsi ke hutan. Aku tahu itu, Ibu. Hanya saja, mengapa kita tidak boleh ikut melawan, Ibu? Apa karena kita perempuan?”
Kamboja akhirnya tidak dapat menahan air matanya. Ia sesenggukan. Bening yang telah lama mengambang itu pecah juga dari balik kelopak matanya yang berbulu lentik. Satu per satu bening itu jatuh menimpa pinggiran nisan ibu Kamboja.
”Ayah mati terkena peluru nyasar. Tepat sehari sebelum perjanjian damai antara pemberontak dan pemerintah. Apa salah ayah? Ah, terlalu sulit memberi alasan antara salah dan benar di kampung ini, Ibu. Mengapa terlalu cepat ibu tinggalkan aku?”
Kamboja menjatuhkan kepalanya di batu nisan tersebut. Beberapa kali ia benturkan kepalanya ke batu itu. Ia bisikkan sesuatu di sana. Suaranya pelan. Hampir tak terdengar di antara angin siang yang sedikit kencang.
”Ibu, jika setelah berbaring pun ketenanganmu mesti terusik, katakan pada Tuhan, biarkan aku yang menggantikan kau di sini,” lirihnya.
Lama Kamboja diam setelah mengucapkan kata-kata itu. Tubuhnya masih bergetar, kendati matahari sudah di puncak kepala. Kamboja mandi keringat. Namun, sedikit pun ia tak menyeka keringat itu. Ia bahkan nyaris melupakan letak kerudungnya yang melorot ke pundak. Rambutnya yang biasa tersimpan rapi di balik kerudung itu mulai tampak. Angin pun membelai rambut hitam keriting itu.
”Ibu, bagaimana lagi caranya mengatakan kepada mereka tentang penderitaanmu, penderitaan kaum perempuan? Lihat, Ibu! Kau besarkan aku tanpa ayah. Kau bekerja upahan untuk memberiku makan. Kau sekolahkan aku hingga tingkat menengah. Kau pula yang mengajarkan aku agar hidup tak mudah menyerah.”
Kamboja berhenti sejenak. Ia tengadah ke langit. Sinar matahari tepat menghunjam retina mata Kamboja. Ia tak berkedip. Hanya memicingkan mata sedikit.
”Tuhan…,” suara Kamboja setengah menjerit. ”Apalagi yang akan kau timpakan kepada kami? Tidak cukupkah derita masa hidupnya? Setelah ia berbaring di tanah-Mu, apakah harus diusik juga? Jawab, Tuhan? Bukankah kau Maha Mendengar?! Mengapa Kau diam? Nanti atau besok, tanah ini akan diratakan, di mana aku harus menempatkan ibuku? Tak cukupkah masa perang tanah air kami dirampas? Di mana Kau Tuhan saat kampung kami dalam perang? Di mana pula Kau saat sudah damai?”
Kamboja sesenggukan. Ia bersimpuh di hadapan nisan ibunya. Lehernya menekuk. Kepalanya nyaris menyentuh lutut. Tubuhnya masih terus bergetar. Isaknya pun mulai deras.
”Ibu, bagaimana caranya aku mempertahankanmu? Besok pagi, tempat peristirahatanmu ini akan diratakan. Kau ingat dulu waktu kampung kita berkecamuk? Orang-orang kampung berperang dengan tentara pemerintah. Kini, tentara pemerintah pula yang akan menjarah rumahmu ini, Ibu.”
Dua pekan lalu, rombongan dari kabupaten mendatangi kepala kampung tempat Kamboja tinggal. Mereka membicarakan soal pembangunan hotel berbintang yang akan didirikan di kampung itu. Menurut berita, hotel itu akan dibangun dengan standar internasional. Ada mal juga nantinya di dalam hotel tersebut. Untuk itu, akan terjadi pembebasan tanah. Salah satu lokasi yang mendapat imbas pembebasan tanah adalah kompleks pemakaman umum korban konflik. Di sanalah ibu Kamboja dan sejumlah janda konflik dimakamkan. Menurut investor, lahan pekuburan massal itu sangat strategis untuk dibangun hotel mahamegah.
”Ibu, sampai saat ini aku tidak tahu di mana ayah dikuburkan. Mayatnya pun tak ada yang menemukan. Ibu dimakamkan di sini sebagai janda konflik. Ibu adalah ibu sekaligus ayah bagiku. Dulu, mereka (pemerintah—Pen) yang membuat lokasi pemakaman di sini. Alasannya, dekat dengan kompleks pemakaman pahlawan masa Belanda. Kini, mereka pula yang akan menggerus pemakaman ini, Ibu. Pemerintah itu tidak punya otak, Ibu. Mereka hanya memikirkan uang, uang, dan uang.”
Tangis Kamboja semakin menjadi. ”Ke mana ibu akan kubawa? Kita tak punya apa-apa lagi. Apa Ibu harus kubawa ke kota tempatku sekarang? Di kota, aku menyewa rumah kontrakan sederhana sambil melanjutkan sekolah. Aku sekolah ke kota demi Ibu. Ibu yang mengatakan bahwa perempuan juga harus punya cita-cita, harus sekolah tinggi. Kata Ibu, aku harus sekolah hingga ke universitas. Dari jauh aku selalu berdoa agar Ibu bisa istirahat dengan tenang di kampung kita. Setiap libur sekolah, aku selalu menjengukmu. Jika esok hari pemakaman ini akan diratakan oleh pemerintah demi gedung bertingkat, ke mana lagi aku akan melihat Ibu saat libur semester nanti?”
Kali ini Kamboja terdiam lebih lama. Ia berusaha mengatur napas. Ia tatap bagian kepala nisan ibunya. Lalu tatapannya berpindah ke bagian badan. Selanjutnya ke batu di bagian kaki. Lama tatapan itu berhenti di sana.
Kamboja bangkit, menuju bagian kaki ibunya. Ia duduk perlahan. Kedua telapak tangannya menyentuh batu nisan itu. Lalu, kepalanya ia tundukkan agar dapat mencium nisan di kaki ibunya.
”Ibu, terimalah sembah sujudku. Ampuni segala ketidakberdayaanku. Aku berjanji akan berusaha mempertahankan Ibu walau mungkin itu mustahil. Di tempat ini, bukan hanya
ibu dikuburkan. Masih banyak korban konflik lainnya. Mustahil memang bagiku untuk mempertahankan Ibu sendiri, sedangkan keluarga korban lainnya sudah menerima uang pembebasan tanah ini. Mereka telah menjual ayah ibunya yang dimakamkan di sini. Mereka lebih memilih setumpuk uang dari pemerintah tanpa menyadari orangtuanya di sini akan dipijak-pijak, akan diluluhlantakkan dengan mesin penggiling.”
Kamboja mengangkat kepala. Dipandanginya nisan ibunya dengan garang. Tatapannya nyalang. ”Aku tidak akan menjual Ibu kepada pemerintah atau kepada siapa pun. Meski aku harus mati di sini, aku tetap akan mempertahankan Ibu.”
Kamboja kembali menangis, tapi kali ini suaranya memelan. ”Ibu, ajari aku bagaimana caranya melawan pemerintah? Aku tidak punya senjata, Ibu!”
Perlahan terdengar suara langkah kaki mendekat. Sayup-sayup ada yang bicara.
”Di sinilah akan kita bangun hotel itu, Pak. Luasnya seribu meter persegi, hingga di pojok sana,” ucap sebuah suara penuh semangat.
”Di situ? Bukankah itu kompleks pemakaman?” suara parau menyela.
”Benar, Pak. Tapi, Bapak tenang saja. Semua sudah diatur. Izin penggunaan lahan pemakaman ini sudah diurus. Semua orang yang punya hubungan kekerabatan dengan yang dimakamkan di sini sudah didatangi. Mereka mendapatkan haknya. Semua sudah beres, Pak.”
”Pemakaman apa itu?”
”Pemakaman korban konflik, Pak.”
”Hm…, apa tidak berbahaya nantinya mendirikan hotel di atas makam, makam korban konflik pula? Pasti ada yang mati berdarah di sini.”
”Ah, Bapak ini ada-ada saja. Mana ada orang mati bisa hidup lagi.”
Kamboja bangkit. Dari makam ibunya, ia berteriak. ”Siapa pun kalian, menghormati hak-hak orang yang masih hidup itu memang susah, apalagi rakyat kecil. Namun, menghormati ketenangan orang yang sudah mati, apakah juga tidak kalian miliki? Di mana nurani kalian? Di sini terkubur saksi kezaliman masa konflik. Apa kalian mau mereka jadi saksi kezaliman kalian di hadapan Tuhan?”
”Siapa dia?”
”Dia, Pak? Dia kayaknya orang gila. Sudah tiga hari dia menangis terus di makam itu.”
Kamboja mendekati orang tersebut. ”Ya, saya sudah gila. Saya gila karena mempertahankan hak-hak orang mati. Makam ini adalah rumah mereka yang telah istirahat dengan tenang. Saya gila karena menginginkan ketenangan mereka. Sedangkan kalian, gila karena ingin hotel megah tanpa melihat penderitaan orang lain.”
Lelaki yang sedari tadi disapa ”bapak” berbalik meninggalkan lokasi pemakaman. ”Anda bilang semua sudah beres. Kasus makam ini ternyata belum selesai,” ujarnya sembari meninggalkan tempat itu.
Darussalam, 2012-2013
Ilustrasi Karya : Jitet Kustana
Terbit di Harian Kompas pada 5 Januari 2014















Tidak ada komentar:

Posting Komentar