Senin, 23 Mei 2016

ANALISIS CERPEN “Eyang” Karya “Putu Wijaya”

ANALISIS STRUKTUR DALAM CERPEN “Eyang” Karya “Putu Wijaya”
A.    Deskripsi data
Bali sudah sejak lama dikenal sebagai daerah yang banyak melahirkan para sastrawan ternama yang diperhitungkan dalam dunia sastra indonesia. Kenyataan ini didukung oleh keikutsertaan sastrawan yang berasal dari Bali seperti Putu Wijaya, Ketut Rida, dan lainnya.
a.       Biografi Tokoh
1.      Putu Wijaya
Putu Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang cukup panjang yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui bahwa ia berasal dari Bali. Putu Wijaya memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944. Pada masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih duduk di SMP di Bali, Putu mulai menulis cerita pendek dan beberapa diantaranya dimuat diharian Suluh Indonesia, Bali. Ketika di SMA, Putu memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam kegiatan sandiwara. Setelah selesai SMA ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.
Di Yogyakarta selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM ia juga mempelajarai seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM ia meraih gelar sarjana hukum (1969) dari ASDRAFI ia gagal dalam penulisan skripsi dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer. Di samping itu, ia menjadi redaktur majalah ekspres. Setelah majalah itu mati, Putu menjadi redaktur Majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di Majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974).
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, Putu mendapat beasiswa belajar drama di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan saja. Setelah itu, ia kembali aktif di Majalah Tempo. Pada tahun 1975 ia mengikuti International Writing Program di Lowa, Amerika Serikat. Setelah itu, ia juga pernah menjadi redaktur Majalah Zaman (1979-1985).
Putu Wijaya mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001). Di samping itu,  ia juga pernah mengajar di Amerika Serikat (1985-1988).
Di samping itu, Putu Wijaya menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film  yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Selama bermukiman di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (2968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (19690. Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai  dramawwan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain Bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang , Arab dan Thailand.

b.      Sinopsis Cerpen “Eyang” Karya “Putu Wijaya”
Pada saat bulan Ramadhan menjelang sebuah keluarga yang sedang mengalami krisis  dalam kebutuhan ekonomi mendapatkan amanah dari seorang bos di sebuah perusahaan. Amanah tersebut yaitu untuk merawat seorang lelaki tua yang dipanggil Eyang. Eyang tidak ingin ikut berlibur bersama anaknya ke Cina dan Eyang tidak ingin dititipkan ditempat lain kecuali di rumah keluarga ini.
Sebelumnya keluarga ini berfikir untuk makan keluarganya saja sangat sulit dan tidak cukup. Tetapi di beliau dititipkan amanah untuk merawat Eyang. Tetapi mau tidak mau amanah tersebut harus dijalankan bagaimana pun kondisinya. Anak Eyang memberikan uang untuk merawat Eyang selama hidup bersama mereka. Istri dan anak-anaknya sangat senang hati menyambut Eyang. Dan mereka harus memperlakukan Eyang selayaknya dewa. Eyang memiliki kepribadian yang lentur dan menyenangkan, kekayaannya tidak membuat ia menjadi seorang yang sombong. Keluarga ini dibawa bersenang-senang oleh Eyang.
Beberapa hari telah dilewati eyang pun dijemput oleh supirnya untuk kembali kerumahnya. Tanpa mengucap sepatah kata pun eyang kembali berubah menjadi sikap Eyang yang dulu yaitu tegang dan dingin. Rumah yang ditumpangi eyang kembali menjadi sunyi dan hening. Setelah Eyang pergi sang istri menyerahkan amplop kepada suaminya, amplop itu adalah pemberian dari Eyang. Ketika dibuka amplop itu berisi uang yang sangat mengejutkan yaitu sebesar lima ratus juta rupiah. Sang pelaku utama sangat terkejut dan menolak untuk menerima uang itu. Akhirnya uang itu pun dikembalikan oleh sang istri kepada bos . Lalu sang istri mengatakan bahwa uang yang dikembalikan oleh bos ternyata ditukar dengan amplop lain. Amplop yang hanya berisi tiga ratus ribu. Dan pelaku utama pun tidak terima uang lima ratus juta ditukarkan dengan uang tiga ratus ribu tidak lain adalah upah mengasuh Eyang selama satu minggu.

B.     Analisis Data
1.      Cerpen “Eyang” karya “Putu Wijaya”
a.       Struktur Cerpen
1.      Alur
Untuk menemukan struktur alur yang digunakan  pengarang di dalam cerpen ini, peneliti berusaha melihat rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerpen. Rangkaian peristiwa tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Bulan ramadhan datang dan kebutuhan pokok naik.
2.      Tokoh aku mengeluh walaupun sudah banting tulang hasilnya tidak cukup untuk membiayai keluarganya.
3.      Tokoh aku menolak untuk membuat kartu SKM dan KGS yang mampu membantu beban keluarganya.
4.      Karena sombong tokoh aku bangkrut ketika bulan ramadhan.
5.      Para tentangga merayakan hari kemenangan.
6.      Ketika menjelang malam takbiran mobil Hummer 3 milyar milik bos berhenti di depan rumah.
7.      Tokoh aku menghampiri bosnya di depan rumah.
8.      Tokoh aku meyapa bos ketika bosnya membuka kaca jendela.
9.      Bos menanyakan kepastian bahwa tokoh aku tidak mudik.
10.  Bos menitipkan istrinya (eyang) di rumah tokoh aku.
11.  Eyang turun dari  mobil dan menghampiri keluarga tokoh aku.
12.  Tokoh aku mengomel dalam hati karena harus merawat eyang.
13.  Anak dan istri tokoh aku menyambut eyang dengan senang hati.
14.  Seisi rumah dikerahkan untuk memanjakan eyang dan memperlakukan eyang seperti  dewa.
15.  Tokoh aku menyelinap ke kamar dan mengobok-obok lemari mencari brang yang bisa dijual.
16.  Tokoh aku merelakan jam tanagn Rolexnya untuk digadaikan.
17.  Istri dan anak-anaknya kelimpungan karena eyang hilang.
18.  Tokoh aku ambil alih kendali untuk mencari eyang.
19.  Anak dan istri tokoh aku berpencar mencari eyang.
20.  Pukul 22.00 WIB keluarga tokoh aku kembali kerumah dengan tangan hampa.
21.  Keluarga tokoh aku terkejut karena mendengar suara teriakan dari ruang makan.
22.  Tokoh aku dan keluarganya menyerbu makanan yang sudah penuh di atas meja.
23.  Eyang terharu melihat keluarga tokoh aku ketika menyerbu makanan sampai habis.
24.  Eyang dan keluarga tokoh aku menonton televisi di ruang depan.
25.  Semua anggota keluarga tercengang melihat eyang tidak seperti biasanya.
26.  Pada hari keenam  eyang mengajak keluarga tokoh aku menyewa mini bus pariwisata.
27.  Keluarga tokoh aku keliling jakarta dan mengecap situs-situs sejarah.
28.  Pukul 19.00 keluarga tokoh aku kembali kerumah.
29.  Supir eyang sudah menunggu di depan rumah dan akan membawa eyang pulang kerumahnya kembali.
30.  Eyang tidak merespon dan langsung mengerahkan anak-anak mandi kemudian nonton acara tv.
31.  Tak lama kemudian hp berbunyi dan langsung menyodorkan pada tokoh aku.
32.  Eyang melemparkan barang-barangnya ke koper.
33.  Eyang berbicara empat mata dengan istri tokoh aku dan kemudian eyang keluar dari kamar dan menyeret kopernya keluar.
34.  Eyang pergi dan rumah tokoh aku kembali menjadi sunyi, hening dan tegang.
35.  Terbangun dari tidurnya, sang istri duduk disamping tokoh aku dengan membuka amplop yang diberikan oleh eyang.
36.  Tokoh aku menolak uang yang diberikan eyang dan menyuruh istrinya untuk mengembalikan uang tersebut kepada eyang.
37.  Sang istri membisikkan bahwa eyang kembali lagi dan istri memberitahukan bahwa amplop tersebut sudah diberikan kepada bos.
38.  Bos menukarkan amplop dan ternyata uang yang ada di dalamnya hanya tiga ratus ribu rupiah.
39.  Tokoh aku terperanjat mengetahui bahwa uang tiga ratus ribu adalah uang untuk mengurus eyang selama satu bulan.
40.  Tokoh aku mengomel dan menggerutu.
41.  Dan keluarga itu tidur sempit-sempitan yang mencoba membuktikan bahwa uang bukanlah hal yang segala-galanya.

                                  1                                                   41

Bagan 4.1 urutan sekuen cerpen “Eyang”
Pada cerpen ini terdiri dari 41 sekuen yang berada pada penceritaan. Maka jelaslah bahwa secara kronologis cerpen ini disusun menggunakan alur maju. Pada bagian awal hingga akhir pada cerpen menggunakan alur yang terus maju tidak ada ditemukan kisah balik dan sebagainya.

2.      Penokohan
a.       Aku
Tokoh sang aku dalam cerita pendek tersebut adalah seorang kepala keluarga yang memiliki sifat sombong dan tidak pernah bersyukur. Seperti yang terdapat pada kutipan cerpen yaitu:
“Aku sendiri punya persoalan buntu, yang tak bisa dipecahkan. Walau sudah setengah mati banting tulang, hasilnya hanya cukup untuk bayar uang pangkal.
Sempat ada cecunguk yang menawarkan bagaimana mendapat SKM dan KGS-kartu bisa menolong mengurangi beban. Tapi apa daya hati kecil menolak. Akhirnya kesombongan itu terkumpul membuat bangkrut di puncak ramadhan.”
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh aku merupakan tokoh yang sombong dan tidak pernah bersyukur. Selain itu watak tokoh aku yang terlihat tidak pernah bersyukur terdapat pada kutipan sebagai berikut.
“Hanya tiga ratus ribu biaya untuk mengurus eyang seminggu?”

3.      Latar
Ruang lingkup sebuah karya fiksi hakikatnya adalah keberadaan sebuah dunia yang dibangun oleh seorang si pengarang. Latar menyangkut ruang dimana peristiwa itu berlangsung. Oleh karena itu, latar tidak hanya merupakan bentukan sebuah tempat yang diciptakan; melainakan ruang waktu dan latar budaya bisa saja muncul dalam latar itu. Pada bagian latar ini akan diuraikan latar tempat dan latar waktu yang menjadi latar dari peristiwa yang dialami oleh para tokoh dalam cerpen ini. Latar tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a.       Latar tempat
Mobil Hummer senilai 3 milyar miliik bos adalah pembuka latar tempat pada cerpen “Eyang”. Disini pengarang menggambarkan bahwa mobil mewah tersebut diparkirkan tepat di depan rumah dari tokoh aku tersebut. Seperti pada kutipan cerpen tersebut.
“Hummer 3 milyar milik bos berhenti di depan rumah. Aku mel;oncat bagai chipansee menghampiri. Begitu kaca jendela menguak memuntahkan wajahnya yang segar bugar”
Setelah kutipan di atas, ada pula lagtar tempat yang berada di kamar nya, di mana pelaku tokoh aku mengobrak-obrak seluruh isi lemarinya karena ingin mendapatkan barang berharga yang dapat dijual, seperti kutipan cerpen berikut ini.
“Setengah mati aku obrak-obrak almari, tapi sia-sia menemukan barang berharga yang bisa dijual. Akhirnya aku terpksa merelakan jam tangan Rolex, souvenir bos sendiri, ketika ia studi banding ke Hongkong.”
Latar tempat selanjutnya adalah di pangkalan ojek. Dimana kita ketahui dalam cerita ini tokoh aku mencoba menggadaikan jam tangannya demi mendapatkan uang untuk membeli makanan, seperti dalam kutipan berikut ini.
“Membawa Rolex itu, aku menyelinap ke pangkalan ojek. Aku bujuk si Kardi menjualnya cepat.
“Duit lhu sekarang ada berapa, Di?”
Kardi menguras tas pinggangnya ada sekitar 60 ribu rupiah.
“Di kantung celana dalammu, bro! Hayo bantu aku. Ini soal harga diri.!!”
Kardi sambil misuh-misuh terpaksa mengeluarkan simpanannya. Akhirnya aku bisa mengumpulkan 250 ribu. Itu cukup untuk malam ini.”
Setelah kita ketahui latar tempat yang telah dijelaskan diatas, kita juga dapat mengetahui dalam cerpen tersebut bahwa tidak hanya di teras rumah, di kamar maupun di pangkalan ojek. Tetapi, masih banyak lagi latar tempat yang dideskripsikan dalam cerpen tersebut seperti di ruang makan, ruang depan, di mana eyang dan keluarga kecil dari tokoh sang aku kembali pulang yang dideskripsikan kejadian tersebut terjadi di teras rumah. Latar-latar tersebut merupakan hal yang digambarkan oleh pengarang yang secara tidak langsung memberikan konstribusi terhadap para tokoh.

b.      Latar waktu
Latar waktu digunakan dengan tujuan melukiskan kapan suatu peristiwa itu terjadi. Latar waktu pada cerpen ini sangat kaitannya dengan latar tempat yang sudah dijelaskan sebelumnya. Latar waktu dalam cerpen ini dideskripsikan dengan waktu. Seperti kutipan cerpen di bawah ini.
“sore bos, minal aidin walfa izin. Maaf lahir batin!”

“Dengan tangan hampa, pukul 22.00 kami memutuskan  kembali ke rumah. Malam takbiran sudah digelar. Lalu-lalang dan suara petasan heboh. Kami semua lelah, gerah, lapar dan cemas.”

“Pukul 19.00 kami baru sampai rumah. Terkuras tetapi puas. Hanya saja mobil hummer itu, sudah menunggu di depan rumah. Sopirnya segera menghampiri kami.”

4.      Tema
Tema merupakan pokok permasalahan atau konflik sentral yang terkandung di dalam cerpen. Karena tema cerita tidak secara langsung disampaikan oleh pengarang maka akan mempermudah menentukan tema, peneliti mencoba mengemukakan konflik utama yang mendukung terbentuknya sebuah tema. Konflik tersebut adalah sebagai berikut.
“Oke kalau begitu tolong titip eyang. Beliau tidak mau ikut tour ke china, katanya untuk apa ke sana, orang tionghoanya malah banyak ke jawa. Nginap di hotel tidak mau, dititip di super VIP Rumah Sakit bintang enam juga ogah. Maunya di rumah kalian yang sudah dikenalnya. Oke!”
Aku belum sempat menjawab , pintu belakang terbuka. Eyang turun diiringi koper besar perlengkapannya.
“Salam walaikum”
Aku sampai lupa membalas salam eyang, kepalaku seperti kejatuhan batu. Gila, untuk makan sekeluarga saja masih pertanyaan! Bagaiman kalau mesti menjamu eyang yang hanya doyan makan masakan eropa dan buah-buahan impor itu?

Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa tema yang diangkat oleh pengarang dalam cerita di atas menyangkut permasalahan “kebutuhan ekonomi yang rendah untuk menafkahi keluarga dan sifat sombong dan gengsi yang tinggi”

LAMPIRAN 1.  OBJEK PENELITIAN
Eyang
Oleh : Putu Wijaya     
`Dan Lebaran pun datang lagi. Persoalannya belum bergerak. Harga kebutuhan pokok naik. Masyarakat panik. Heboh mudik. Korban jiwa di jalanan bikin galau dan arus balik dapat dipastikan akan tetap kacau. Aku sendiri punya persoalan buntu, yang tak bisa dipecahkan. Walau sudah setengah mati banting tulang, hasilnya hanya cukup untuk bayar uang pangkal sekolah anak-anak.
Sempat ada cucunguk yang menawarkan bagaimana mendapat SKM, dan KGS—kartu yang bisa menolong mengurangi beban. Tapi apa daya hati kecil menolak. Akhirnya kesombongan itu terkumpul membuat bangkrut di puncak Ramadhan.
Sementara, orang suka-ria jor-joran merayakan Hari Kemenangan, kami sekeluarga teriris kesunyian. Untungnya tak ada anak-anak yang ngomel. Mungkin ibunya sudah berhasil mencuci otak mereka. Paling tidak untuk menyakiti hati bapaknya yang sudah keok. Namun penderitaanku tetap tidak berkurang. Walau tidur berhimpitan di dipan kecil, dengan ibunya anak-anak, sudah sebulan aku tanpa keindahan—sesuatu yang selalu aku bangga-banggakan sebagai benteng milikku yang terakhir. Tetapi menjelang malam takbiran. Hummer 3 milyar milik Bos berhenti depan rumah. Aku meloncat bagai chipansee menghampiri. Begitu kaca jendela menguak memuntahkan wajahnya yang segar-bugar, aku sudah menyapa:
”Sore Bos, minal aidin walfa izin. Maaf lahir batin!”
Dia membalas lalu tertawa.
”Jadi sudah pasti, besok?”
”Pasti Bos, sudah ketok palu.”
”Oke. Tapi kalian tidak ke mana-mana seminggu ini, tidak mudik kan?”
”Untuk apa harus mudik, Bos, kalau hati kami sudah di situ hambur-hambur duit aja!”
Dia tertawa lagi.
”Oke, kalau begitu tolong titip Eyang. Beliau tidak mau ikut tour ke China, katanya untuk apa ke sana, orang Tionghoanya malah banyak ke Jawa. Nginap di hotel nggak mau, dititip di super VIP Rumah Sakit bintang enam juga ogah. Maunya di rumah kalian ini yang sudah dikenalnya. Oke?!”
Aku belum sempat menjawab, pintu belakang terbuka. Eyang turun diiringi kopor besar perlengkapannya.
”Salam walaikum…”
Aku sampai lupa membalas sapa Eyang, kepalaku seperti kejatuhan batu. Gila, untuk makan sekeluarga saja masih pertanyaan! Bagaimana kalau mesti menjamu Eyang yang hanya doyan makan masakan Eropa dan buah-buahan impor itu?
Kesalahanku berikutnya, ini sulit aku maafkan. Ketika Bos merogoh sakunya untuk mengeluarkan dompet, menalangi biaya mengurus. Eyang, dengan sigap aku kunci sikunya, sambil senyum TST menunjukkan tak ada masalah:
”Beres Bos, jangan ragu-ragu, kami akan jaga beliau, Bos berangkat saja. Kapan?”
”Ini sekarang langsung ke Cengkareng!”
Aku masih bisa tersenyum. Bangsat memang. Aku selamanya terlambat memantau kemalangan. Barangkali memang itu bakat dasar pecundang. Tak mampu membaca proses, jadi semua harus dijalani. Baru setelah Hummer itu lenyap, dan istriku berbisik di telinga sembari senyum berarti: ”Dikasih berapa?” Baru aku nyahok. Rasanya dunia kiamat.
Enak saja itu orang-orang besar berkoar: bahwa uang bukan segalanya. Nyatanya uang tiap detik tanpa harus dibuktikan lagi, adalah segala-galanya.
Tak paham bahaya apa yang sedang terjadi, istriku menyambut Eyang dengan hangat. Anak-anak semua dikerahkan untuk memanjakan Eyang. Orang tua yang berusia 90 tahun itu, diperlakukan sebagai berlian, layaknya seorang dewa. Dengan berbagai alasan aku menyelinap ke kamar. Setengah mati aku obok-obok almari, tapi sia-sia menemukan barang berharga yang bisa dijual. Akhirnya aku terpaksa merelakan jam tangan Rolex, suvenir Bos sendiri, ketika ia studi banding ke Hong Kong.
Membawa Rolex itu, aku menyelinap ke pangkalan ojek. Aku bujuk si Kardi menjualnya cepat.
”Duit lhu sekarang ada berapa, Di?”
Kardi menguras tas pinggangnya, ada sekitar 60 ribu.
”Di kantung celana dalammu, Bro! Hayo bantu aku. Ini soal harga diri!!”
Kardi sambil misuh-misuh terpaksa mengeluarkan simpanannya. Akhirnya aku bisa mengumpulkan 250 ribu. Itu cukup untuk malam itu. Besok soal besok.
Ketika kembali ke rumah, istri dan anak-anakku nampak kelimpungan. Aku jadi cemas.
”Eyang hilang, Bang!” kata istriku ketakutan, ”Tadi lagi semua beres-beres untuk menetapkan kamar beliau, kami lupa memperhatikannya. Jangan-jangan beliau tersinggung. Setelah kamarnya siap, beliau kabur!”
”Padahal tadinya Eyang ikut membersihkan kamar,” lapor salah satu anakku. ”Eyang bahkan ngelap meja sambil menyanyi, Apa Apanya Dong! Dia yang merancang bagaimana mengaturnya, di mana harus meletakkan kopornya. Tapi tiba-tiba hilang! Jangan-jangan dia sudah pulang lagi!”
Aku cepat ambi-alih kendali. Anak-anak disebar ke tetangga menyelusuri jejaknya. Ada yang mencari ke rumah Bos. Aku sendiri lapor ke kantor polisi. Istriku gentayangan bertanya-tanya pada siapa saja di jalanan. Hasilnya nol.
Dengan tangan hampa, pukul 22.00 WIB kami memutuskan kembali ke rumah. Malam takbiran sudah digelar. Lalu-lalang dan suara petasan heboh. Kami semua lelah, gerah, lapar dan cemas.
Seperti kalah perang, kami masuki rumah. Aku mencoba menghubungi Bos lewat SMS, berharap dia masih di bandara. Tapi seperti sudah kuduga, HP-nya dimatikan. Rasanya aku makin tolol saja.
Tiba-tiba dari ruang makan ada teriakan.
”Hee, ayo buruan! Nanti keburu dingin semua!”
Kami semua terkejut, lalu bergegas ke meja makan. Di situ menunggu Eyang dengan meja penuh makanan. Kami takjub. Bau sedap mengacau otak kami.
”Ayo serbu saja, kalian sudah 30 hari kelaparan, kan?!”
Tanpa menunggu komando kedua, kami menyerbu. Seperti piranha kami sikat habis yang ada di meja. Dalam sekejap, ludas tandas semua.Eyang memperhatikan kami makan dengan kagum. Matanya yang bersinar itu berkaca-kaca. Ia kelihatan begitu terharu pada kerakusan kami.
”Eyang belum pernah melihat orang menghargai makanan seperti kalian,” kata Eyang sambil menepuk pundak anak-anakku, ”Dada ini rasanya plong, hidangan tidak ada sisanya. Besok di samping dipesankan lagi yang lebih enak, Eyang juga akan masak resep tradisional warisan leluhur Eyang. Setuju?!”
Kami menjawab serentak, ”Setuju!”
Habis makan, kami pindah ke ruang depan, nonton televisi. Atas usul Eyang, anak-anak memilih mata acara, kemudian dinikmati bersama. Itu terbalik dari kebiasaan. Biasanya aku atau istriku yang berperan.
”Eyang heran, kenapa kalian tidak masak menjelang buka, air juga merah mengandung larutan zat besi begitu! Ternyata tidak ada beras lagi di dapur. Eyang pikir kalian berkecukupan, habis pakaiannya keren-keren begitu, eee ternyata itu keliru, kalian ternyata kere, he-he-he! Tapi tak apa. Biasa! Semua orang begitu! Besok semua biaya tanggungan, Eyang!”
Kami tercengang, tak percaya apa yang kami dengar. Eyang tak mencoba meyakinkan kami. Kelihatan jenis orang tak peduli. Tak suka basa-basi, ngomong hanya satu kali. Di mata kami, dia jadi seksi.
Lalu Eyang mengajak nonton siaran musik. Dan langsung ikut jingkrak-jingkrak edan. Tapi akhirnya, aku dan istriku ikutan joged. Rumah berubah jadi diskotik.
Ujung-ujungnya Eyang dan anak-anak nonton pertandingan Barcelona mempermalukan Thailand 7-1.
Aku dan istriku tercengang melihat orang tua yang lanjut usia itu, berteriak dan misuh-misuh mengikuti larinya bola. Eyang seperti ornamen yang melempas dari pola yang telah lama menindasnya. Ia begitu lepas. ”Makhluk apa ini?” bisikku. Tapi kemudian kuralat. ”Makhluk dari mana sekarang aku ini?”
Esoknya dan esoknya, menjadi hari-hari baru. Ajaib, bagaimana Eyang menyulap rumah kami dalam sekejap, dari gelap, mendadak ceria dan bersemangat.
Di luar dugaan, Eyang ternyata berlapis-lapis di bawah keriputnya. Ia yang semula terasa sebagai fosil, monster masa lalu, jebulnya menyembunyikan, memiliki kepribadian lentur.
Tua bukan lagi tanda lapuk atau rapuh. Tapi dinamis terbuka, toleran, apa ya, pendeknya menyenangkan.
Tak sebagaimana yang kami duga, kekayaannya tidak menjadikan dia pongah atau egois. Eyang onderdil canggih yang dipasang di mana pun, klop.
Anak-anak terpesona. Awalnya bingung mengapresiasi, bagaimana mungkin mereka bisa luluh dengan produk zaman baheula itu. Ternyata kenyataan bertentangan dengan teori.
Aku tak habis pikir, bagaimana Eyang bisa aktif, gesit, spontan dan ringan menghampiri kami. Khususnya anak-anak yang sering kami cap liar, bablas?
Sama sekali tanpa jarak, tanpa terasa dibuat-buat. Eyang menghampiri menjemput dan membalut kami seperti kabut menelan gunung.
Anak-anak tenggelam, lupa daratan dalam pukau Eyang. Baru pertama kali kurasakan bahwa usia, latar belakang, kondisi sosial, tidak menjegal. Tak ada yang bisa menghalangi asal manusia mau menyatu.
Pada hari keenam, Eyang mengajak kami menyewa sebuah minibus pariwisata. Lalu semua kami keliling sekitar Jakarta, mengecap situs-situs bersejarah.
Perjalanan yang menelan waktu sepanjang hari itu sangat menarik. Meskipun juga melelahkan. Tapi tak seorang pun nampak menyesal.
Pukul 19.00, kami baru sampai di rumah. Terkuras tetapi puas. Hanya saja mobil Hummer itu, sudah menunggu di depan rumah. Sopirnya segera menghampiri kami.
”Bapak mendadak pulang karena dipanggil Presiden ke istana, dalam rangka perombakan susunan kabinet,” katanya kepada Eyang, ”Saya diperintahkan menjemput Ibu.”
Eyang sama sekali tak menjawab, seakan-akan tak mendengar. Ia langsung mengerahkan anak-anak mandi, untuk kemudian nonton acara tv yang sudah mereka tunggu-tunggu.
Sopir agaknya sudah hapal watak Eyang. Ia tak mengejar Eyang, tapi mendesakku.
”Pak, tolong dibantu. Saya harus membawa Ibu pulang sekarang, Pak. Kalau tidak, Bapak nanti datang sendiri ke mari.”
Begitu dia selesai ngomong, HP-nya bunyi. Dia langsung menyodorkannya kepadaku.
”Untuk Bapak, dari Bapak.”
Aku menyambut HP.
”Halo Bos, selamat datang kembali ke Tanah Air!”
”Heee. Min! Tolong kirim sekarang juga Eyang pulang! Sekarang! Cepat!”
Aku tak sempat menjawab, karena sambungan diputuskan. Sopir mengangguk menerima HP-nya kembali. Aku merasa terjebak. Bukan jadi penting karena pegang kunci, justru sebaliknya, korban. Memang bedanya tipis.
Aku yakin, nampaknya ada sesuatu yang sudah terjadi. Sesuatu yang
tidak harus kuketahui. Aku samperin Eyang.
Di luar dugaanku, rupanya aku tidak perlu susah-payah mendesak Eyang. Meskipun itu tidak disukainya, Eyang sudah berkemas. Ia melemparkan barang-barangnya ke kopor.
Bahkan belum sempat aku buka mulut, Eyang sudah keluar kamar menyeret kopornya. Setelah bicara empat mata dengan istriku, ia menuangkan dirinya ke mobil.
Tanpa mengucap sepatah kata pun. Wajahnya tegang, dingin dan sunyi. Ia kembali memasuki perannya yang lama. Kami semua sedih melihat ia begitu saja hilang dari jangkauan.
Setelah Eyang pergi, rumah mati angin. TV tetap bising, tapi anak-anak terpaku beku. Aku dibakar lelah. Tiba-tiba aku menyadari begitu banyak yang sudah alpa kulakukan. Mengapa orang tuaku sendiri, nenek dan kakek asli anak-anakku tidak pernah kusikapi seperti Eyang?
Terbangun di tengah mimpi, tv masik heboh. Tapi anak-anak sudah kabur ke kamarnya. Di sampingku istriku sedang mengeluarkan duit dari amplop.
”Dari Eyang,” kata istriku menunjukkan uang itu.
Aku tidak tertarik.
”Abang tahu jumlahnya?”
Aku tidak peduli.
”Setengah milyar!”
Aku kaget.
”Berapa?”
”500.000.000!”
”Lima ratus juta?”
”Ya! Kata Eyang, ini duitnya sendiri yang dia tabung selama 20 tahun.”
Kantuk dan lelahku kontan hilang. Mataku terbelalak melihat mimpi itu.
”Tidak. Kita tidak bisa menerima itu!”
Istriku mengulurkan duit itu. Aku merasakan auranya panas. Itu perangkap. Aku pun mengelak.
”Tidak! Kita tidak boleh menerima itu! Jangan menipu orang tua. Dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Kembalikan, demi Tuhan jangan ikut bisikan setan!”
Istriku teranjat. Aku yakin dia menganggapku edan. Tapi keputusanku itu sudah final.
”Kembalikan!”
Aku terlalu capai. Tanpa daya aku tergeret ngorok. Baru ketika ada suara-suara bising keras di sekitarku aku mendusin.
Anak-anak kembali kumpul, depan tv. Mereka menonton pertandingan bola bersama Eyang.
Istriku menghampiri lalu berbisik:
”Eyang kembali lagi. Bos sendiri yang mengantarkan. Katanya Eyang merasa betah, diwongkan di sini!”
”Amplopnya?”
”Sudah aku kembalikan kepada Bos, seperti perintah Abang.”
”Bos sudah tahu berapa isinya?”
”Belum.”
”Mestinya dikasih tahu.”
”Tapi dia memberikan kita ini!”
Istriku menunjukkan 3 lembar ratusan ribu.
”Hanya 300 ribu untuk biaya ngurus Eyang seminggu?”
”Bukan seminggu. Eyang mau tinggal sama kita di sini sebulan!”
Aku terperanjat.
”Sebulan? Edan kenapa bukan seumur hidup!”
Aku banting 3 lembar ratusan ribu bangsat itu setelah BBM naik, itu hanya cukup untuk 4 kilo bawang.
Istriku menyabarkan, sambil menarik tanganku ke kamar.
”Sssstttt! Sudahlah, Bang, kan kata Abang biasanya, duit bukan segala-galanya!”
Aku terus berang ngedumel. Itu tak adil! Tak adil! Tapi tak menolak mengikutinya ke kamar. Malam itu dipan kami terasa makin sempit. Dan kami mencoba berjuang lagi membuktikan, duit bukan segala-galanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar