ANALISIS
STRUKTUR DALAM CERPEN “Eyang” Karya “Putu Wijaya”
A. Deskripsi
data
Bali sudah sejak lama dikenal sebagai daerah yang
banyak melahirkan para sastrawan ternama yang diperhitungkan dalam dunia sastra
indonesia. Kenyataan ini didukung oleh keikutsertaan sastrawan yang berasal
dari Bali seperti Putu Wijaya, Ketut Rida, dan lainnya.
a. Biografi
Tokoh
1. Putu
Wijaya
Putu
Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang cukup panjang
yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui bahwa ia
berasal dari Bali. Putu Wijaya memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali
pada tanggal 11 April 1944. Pada masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya
pada dunia sastra. Saat masih duduk di SMP di Bali, Putu mulai menulis cerita
pendek dan beberapa diantaranya dimuat diharian Suluh Indonesia, Bali. Ketika
di SMA, Putu memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam kegiatan
sandiwara. Setelah selesai SMA ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota
seni dan budaya.
Di
Yogyakarta selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM ia juga mempelajarai seni lukis
di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film
(ASDRAFI) dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM ia
meraih gelar sarjana hukum (1969) dari ASDRAFI ia gagal dalam penulisan skripsi
dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Setelah
kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di jakarta
ia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer. Di samping itu, ia menjadi
redaktur majalah ekspres. Setelah majalah itu mati, Putu menjadi redaktur
Majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di Majalah Tempo, Putu
mendirikan Teater Mandiri (1974).
Pada
saat masih bekerja di majalah Tempo, Putu mendapat beasiswa belajar drama di
Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan
lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan saja. Setelah itu, ia kembali
aktif di Majalah Tempo. Pada tahun 1975 ia mengikuti International Writing
Program di Lowa, Amerika Serikat. Setelah itu, ia juga pernah menjadi redaktur
Majalah Zaman (1979-1985).
Putu
Wijaya mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam
Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte
III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling
Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001). Di samping
itu, ia juga pernah mengajar di Amerika
Serikat (1985-1988).
Di
samping itu, Putu Wijaya menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis
skenario sinetron. Film yang
disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag dan Plong. Sinetron yang
disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-jari. Skenario
yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona.
Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Selama
bermukiman di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia
pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S Rendra dalam beberapa
pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (2968) dan Menunggu Godot
(1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia
juga tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (19690. Ia
adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu
menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh
Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Karena
kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih
dikenal sebagai dramawwan. Sebenarnya,
selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup
banyak, di samping menulis esai diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara
lain Bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang , Arab dan Thailand.
b. Sinopsis
Cerpen “Eyang” Karya “Putu Wijaya”
Pada
saat bulan Ramadhan menjelang sebuah keluarga yang sedang mengalami krisis dalam kebutuhan ekonomi mendapatkan amanah
dari seorang bos di sebuah perusahaan. Amanah tersebut yaitu untuk merawat
seorang lelaki tua yang dipanggil Eyang. Eyang tidak ingin ikut berlibur
bersama anaknya ke Cina dan Eyang tidak ingin dititipkan ditempat lain kecuali
di rumah keluarga ini.
Sebelumnya
keluarga ini berfikir untuk makan keluarganya saja sangat sulit dan tidak
cukup. Tetapi di beliau dititipkan amanah untuk merawat Eyang. Tetapi mau tidak
mau amanah tersebut harus dijalankan bagaimana pun kondisinya. Anak Eyang
memberikan uang untuk merawat Eyang selama hidup bersama mereka. Istri dan
anak-anaknya sangat senang hati menyambut Eyang. Dan mereka harus memperlakukan
Eyang selayaknya dewa. Eyang memiliki kepribadian yang lentur dan menyenangkan,
kekayaannya tidak membuat ia menjadi seorang yang sombong. Keluarga ini dibawa
bersenang-senang oleh Eyang.
Beberapa
hari telah dilewati eyang pun dijemput oleh supirnya untuk kembali kerumahnya.
Tanpa mengucap sepatah kata pun eyang kembali berubah menjadi sikap Eyang yang
dulu yaitu tegang dan dingin. Rumah yang ditumpangi eyang kembali menjadi sunyi
dan hening. Setelah Eyang pergi sang istri menyerahkan amplop kepada suaminya,
amplop itu adalah pemberian dari Eyang. Ketika dibuka amplop itu berisi uang
yang sangat mengejutkan yaitu sebesar lima ratus juta rupiah. Sang pelaku utama
sangat terkejut dan menolak untuk menerima uang itu. Akhirnya uang itu pun
dikembalikan oleh sang istri kepada bos . Lalu sang istri mengatakan bahwa uang
yang dikembalikan oleh bos ternyata ditukar dengan amplop lain. Amplop yang
hanya berisi tiga ratus ribu. Dan pelaku utama pun tidak terima uang lima ratus
juta ditukarkan dengan uang tiga ratus ribu tidak lain adalah upah mengasuh
Eyang selama satu minggu.
B. Analisis
Data
1. Cerpen
“Eyang” karya “Putu Wijaya”
a. Struktur
Cerpen
1. Alur
Untuk
menemukan struktur alur yang digunakan
pengarang di dalam cerpen ini, peneliti berusaha melihat rangkaian
peristiwa yang terdapat di dalam cerpen. Rangkaian peristiwa tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Bulan
ramadhan datang dan kebutuhan pokok naik.
2. Tokoh
aku mengeluh walaupun sudah banting tulang hasilnya tidak cukup untuk membiayai
keluarganya.
3. Tokoh
aku menolak untuk membuat kartu SKM dan KGS yang mampu membantu beban keluarganya.
4. Karena
sombong tokoh aku bangkrut ketika bulan ramadhan.
5. Para
tentangga merayakan hari kemenangan.
6. Ketika
menjelang malam takbiran mobil Hummer 3 milyar milik bos berhenti di depan
rumah.
7. Tokoh
aku menghampiri bosnya di depan rumah.
8. Tokoh
aku meyapa bos ketika bosnya membuka kaca jendela.
9. Bos
menanyakan kepastian bahwa tokoh aku tidak mudik.
10. Bos
menitipkan istrinya (eyang) di rumah tokoh aku.
11. Eyang
turun dari mobil dan menghampiri
keluarga tokoh aku.
12. Tokoh
aku mengomel dalam hati karena harus merawat eyang.
13. Anak
dan istri tokoh aku menyambut eyang dengan senang hati.
14. Seisi
rumah dikerahkan untuk memanjakan eyang dan memperlakukan eyang seperti dewa.
15. Tokoh
aku menyelinap ke kamar dan mengobok-obok lemari mencari brang yang bisa
dijual.
16. Tokoh
aku merelakan jam tanagn Rolexnya untuk digadaikan.
17. Istri
dan anak-anaknya kelimpungan karena eyang hilang.
18. Tokoh
aku ambil alih kendali untuk mencari eyang.
19. Anak
dan istri tokoh aku berpencar mencari eyang.
20. Pukul
22.00 WIB keluarga tokoh aku kembali kerumah dengan tangan hampa.
21. Keluarga
tokoh aku terkejut karena mendengar suara teriakan dari ruang makan.
22. Tokoh
aku dan keluarganya menyerbu makanan yang sudah penuh di atas meja.
23. Eyang
terharu melihat keluarga tokoh aku ketika menyerbu makanan sampai habis.
24. Eyang
dan keluarga tokoh aku menonton televisi di ruang depan.
25. Semua
anggota keluarga tercengang melihat eyang tidak seperti biasanya.
26. Pada
hari keenam eyang mengajak keluarga
tokoh aku menyewa mini bus pariwisata.
27. Keluarga
tokoh aku keliling jakarta dan mengecap situs-situs sejarah.
28. Pukul
19.00 keluarga tokoh aku kembali kerumah.
29. Supir
eyang sudah menunggu di depan rumah dan akan membawa eyang pulang kerumahnya
kembali.
30. Eyang
tidak merespon dan langsung mengerahkan anak-anak mandi kemudian nonton acara
tv.
31. Tak
lama kemudian hp berbunyi dan langsung menyodorkan pada tokoh aku.
32. Eyang
melemparkan barang-barangnya ke koper.
33. Eyang
berbicara empat mata dengan istri tokoh aku dan kemudian eyang keluar dari
kamar dan menyeret kopernya keluar.
34. Eyang
pergi dan rumah tokoh aku kembali menjadi sunyi, hening dan tegang.
35. Terbangun
dari tidurnya, sang istri duduk disamping tokoh aku dengan membuka amplop yang
diberikan oleh eyang.
36. Tokoh
aku menolak uang yang diberikan eyang dan menyuruh istrinya untuk mengembalikan
uang tersebut kepada eyang.
37. Sang
istri membisikkan bahwa eyang kembali lagi dan istri memberitahukan bahwa
amplop tersebut sudah diberikan kepada bos.
38. Bos
menukarkan amplop dan ternyata uang yang ada di dalamnya hanya tiga ratus ribu
rupiah.
39. Tokoh
aku terperanjat mengetahui bahwa uang tiga ratus ribu adalah uang untuk
mengurus eyang selama satu bulan.
40. Tokoh
aku mengomel dan menggerutu.
41. Dan
keluarga itu tidur sempit-sempitan yang mencoba membuktikan bahwa uang bukanlah
hal yang segala-galanya.
1
41

Bagan
4.1 urutan sekuen
cerpen “Eyang”

Pada
cerpen ini terdiri dari 41 sekuen yang berada pada penceritaan. Maka jelaslah
bahwa secara kronologis cerpen ini disusun menggunakan alur maju. Pada bagian
awal hingga akhir pada cerpen menggunakan alur yang terus maju tidak ada
ditemukan kisah balik dan sebagainya.
2. Penokohan
a. Aku
Tokoh
sang aku dalam cerita pendek tersebut adalah seorang kepala keluarga yang
memiliki sifat sombong dan tidak pernah bersyukur. Seperti yang terdapat pada
kutipan cerpen yaitu:
“Aku sendiri punya persoalan buntu,
yang tak bisa dipecahkan. Walau sudah setengah mati banting tulang, hasilnya
hanya cukup untuk bayar uang pangkal.
Sempat ada cecunguk yang menawarkan
bagaimana mendapat SKM dan KGS-kartu bisa menolong mengurangi beban. Tapi apa
daya hati kecil menolak. Akhirnya kesombongan itu terkumpul membuat bangkrut di
puncak ramadhan.”
Berdasarkan
kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh aku merupakan tokoh yang sombong
dan tidak pernah bersyukur. Selain itu watak tokoh aku yang terlihat tidak
pernah bersyukur terdapat pada kutipan sebagai berikut.
“Hanya tiga ratus ribu biaya untuk
mengurus eyang seminggu?”
3. Latar
Ruang
lingkup sebuah karya fiksi hakikatnya adalah keberadaan sebuah dunia yang
dibangun oleh seorang si pengarang. Latar menyangkut ruang dimana peristiwa itu
berlangsung. Oleh karena itu, latar tidak hanya merupakan bentukan sebuah
tempat yang diciptakan; melainakan ruang waktu dan latar budaya bisa saja
muncul dalam latar itu. Pada bagian latar ini akan diuraikan latar tempat dan
latar waktu yang menjadi latar dari peristiwa yang dialami oleh para tokoh
dalam cerpen ini. Latar tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a. Latar
tempat
Mobil
Hummer senilai 3 milyar miliik bos adalah pembuka latar tempat pada cerpen
“Eyang”. Disini pengarang menggambarkan bahwa mobil mewah tersebut diparkirkan
tepat di depan rumah dari tokoh aku tersebut. Seperti pada kutipan cerpen
tersebut.
“Hummer
3 milyar milik bos berhenti di depan rumah. Aku mel;oncat bagai chipansee menghampiri.
Begitu kaca jendela menguak memuntahkan wajahnya yang segar bugar”
Setelah
kutipan di atas, ada pula lagtar tempat yang berada di kamar nya, di mana
pelaku tokoh aku mengobrak-obrak seluruh isi lemarinya karena ingin mendapatkan
barang berharga yang dapat dijual, seperti kutipan cerpen berikut ini.
“Setengah mati aku obrak-obrak
almari, tapi sia-sia menemukan barang berharga yang bisa dijual. Akhirnya aku
terpksa merelakan jam tangan Rolex, souvenir bos sendiri, ketika ia studi
banding ke Hongkong.”
Latar
tempat selanjutnya adalah di pangkalan ojek. Dimana kita ketahui dalam cerita
ini tokoh aku mencoba menggadaikan jam tangannya demi mendapatkan uang untuk
membeli makanan, seperti dalam kutipan berikut ini.
“Membawa Rolex itu, aku menyelinap
ke pangkalan ojek. Aku bujuk si Kardi menjualnya cepat.
“Duit lhu sekarang ada berapa, Di?”
Kardi menguras tas pinggangnya ada
sekitar 60 ribu rupiah.
“Di kantung celana dalammu, bro!
Hayo bantu aku. Ini soal harga diri.!!”
Kardi sambil misuh-misuh terpaksa mengeluarkan
simpanannya. Akhirnya aku bisa mengumpulkan 250 ribu. Itu cukup untuk malam
ini.”
Setelah
kita ketahui latar tempat yang telah dijelaskan diatas, kita juga dapat
mengetahui dalam cerpen tersebut bahwa tidak hanya di teras rumah, di kamar
maupun di pangkalan ojek. Tetapi, masih banyak lagi latar tempat yang
dideskripsikan dalam cerpen tersebut seperti di ruang makan, ruang depan, di
mana eyang dan keluarga kecil dari tokoh sang aku kembali pulang yang
dideskripsikan kejadian tersebut terjadi di teras rumah. Latar-latar tersebut
merupakan hal yang digambarkan oleh pengarang yang secara tidak langsung
memberikan konstribusi terhadap para tokoh.
b. Latar
waktu
Latar waktu digunakan
dengan tujuan melukiskan kapan suatu peristiwa itu terjadi. Latar waktu pada
cerpen ini sangat kaitannya dengan latar tempat yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Latar waktu dalam cerpen ini dideskripsikan dengan waktu. Seperti
kutipan cerpen di bawah ini.
“sore
bos, minal aidin walfa izin. Maaf lahir batin!”
“Dengan
tangan hampa, pukul 22.00 kami memutuskan
kembali ke rumah. Malam takbiran sudah digelar. Lalu-lalang dan suara
petasan heboh. Kami semua lelah, gerah, lapar dan cemas.”
“Pukul
19.00 kami baru sampai rumah. Terkuras tetapi puas. Hanya saja mobil hummer
itu, sudah menunggu di depan rumah. Sopirnya segera menghampiri kami.”
4. Tema
Tema merupakan pokok
permasalahan atau konflik sentral yang terkandung di dalam cerpen. Karena tema
cerita tidak secara langsung disampaikan oleh pengarang maka akan mempermudah
menentukan tema, peneliti mencoba mengemukakan konflik utama yang mendukung
terbentuknya sebuah tema. Konflik tersebut adalah sebagai berikut.
“Oke
kalau begitu tolong titip eyang. Beliau tidak mau ikut tour ke china, katanya
untuk apa ke sana, orang tionghoanya malah banyak ke jawa. Nginap di hotel
tidak mau, dititip di super VIP Rumah Sakit bintang enam juga ogah. Maunya di
rumah kalian yang sudah dikenalnya. Oke!”
Aku
belum sempat menjawab , pintu belakang terbuka. Eyang turun diiringi koper
besar perlengkapannya.
“Salam
walaikum”
Aku
sampai lupa membalas salam eyang, kepalaku seperti kejatuhan batu. Gila, untuk
makan sekeluarga saja masih pertanyaan! Bagaiman kalau mesti menjamu eyang yang
hanya doyan makan masakan eropa dan buah-buahan impor itu?
Berdasarkan
kutipan di atas jelaslah bahwa tema yang diangkat oleh pengarang dalam cerita
di atas menyangkut permasalahan “kebutuhan ekonomi yang rendah untuk menafkahi
keluarga dan sifat sombong dan gengsi yang tinggi”

Eyang
Oleh : Putu Wijaya
`Dan Lebaran
pun datang lagi. Persoalannya belum bergerak. Harga kebutuhan pokok naik.
Masyarakat panik. Heboh mudik. Korban jiwa di jalanan bikin galau dan arus
balik dapat dipastikan akan tetap kacau. Aku sendiri punya persoalan buntu,
yang tak bisa dipecahkan. Walau sudah setengah mati banting tulang, hasilnya
hanya cukup untuk bayar uang pangkal sekolah anak-anak.
Sempat ada
cucunguk yang menawarkan bagaimana mendapat SKM, dan KGS—kartu yang bisa
menolong mengurangi beban. Tapi apa daya hati kecil menolak. Akhirnya
kesombongan itu terkumpul membuat bangkrut di puncak Ramadhan.
Sementara, orang suka-ria jor-joran merayakan Hari Kemenangan, kami sekeluarga teriris kesunyian. Untungnya tak ada anak-anak yang ngomel. Mungkin ibunya sudah berhasil mencuci otak mereka. Paling tidak untuk menyakiti hati bapaknya yang sudah keok. Namun penderitaanku tetap tidak berkurang. Walau tidur berhimpitan di dipan kecil, dengan ibunya anak-anak, sudah sebulan aku tanpa keindahan—sesuatu yang selalu aku bangga-banggakan sebagai benteng milikku yang terakhir. Tetapi menjelang malam takbiran. Hummer 3 milyar milik Bos berhenti depan rumah. Aku meloncat bagai chipansee menghampiri. Begitu kaca jendela menguak memuntahkan wajahnya yang segar-bugar, aku sudah menyapa:
Sementara, orang suka-ria jor-joran merayakan Hari Kemenangan, kami sekeluarga teriris kesunyian. Untungnya tak ada anak-anak yang ngomel. Mungkin ibunya sudah berhasil mencuci otak mereka. Paling tidak untuk menyakiti hati bapaknya yang sudah keok. Namun penderitaanku tetap tidak berkurang. Walau tidur berhimpitan di dipan kecil, dengan ibunya anak-anak, sudah sebulan aku tanpa keindahan—sesuatu yang selalu aku bangga-banggakan sebagai benteng milikku yang terakhir. Tetapi menjelang malam takbiran. Hummer 3 milyar milik Bos berhenti depan rumah. Aku meloncat bagai chipansee menghampiri. Begitu kaca jendela menguak memuntahkan wajahnya yang segar-bugar, aku sudah menyapa:
”Sore Bos,
minal aidin walfa izin. Maaf lahir batin!”
Dia membalas
lalu tertawa.
”Jadi sudah pasti, besok?”
”Pasti Bos, sudah ketok palu.”
”Oke. Tapi kalian tidak ke mana-mana seminggu ini, tidak mudik kan?”
”Untuk apa harus mudik, Bos, kalau hati kami sudah di situ hambur-hambur duit aja!”
Dia tertawa lagi.
”Oke, kalau begitu tolong titip Eyang. Beliau tidak mau ikut tour ke China, katanya untuk apa ke sana, orang Tionghoanya malah banyak ke Jawa. Nginap di hotel nggak mau, dititip di super VIP Rumah Sakit bintang enam juga ogah. Maunya di rumah kalian ini yang sudah dikenalnya. Oke?!”
Aku belum sempat menjawab, pintu belakang terbuka. Eyang turun diiringi kopor besar perlengkapannya.
”Salam walaikum…”
”Jadi sudah pasti, besok?”
”Pasti Bos, sudah ketok palu.”
”Oke. Tapi kalian tidak ke mana-mana seminggu ini, tidak mudik kan?”
”Untuk apa harus mudik, Bos, kalau hati kami sudah di situ hambur-hambur duit aja!”
Dia tertawa lagi.
”Oke, kalau begitu tolong titip Eyang. Beliau tidak mau ikut tour ke China, katanya untuk apa ke sana, orang Tionghoanya malah banyak ke Jawa. Nginap di hotel nggak mau, dititip di super VIP Rumah Sakit bintang enam juga ogah. Maunya di rumah kalian ini yang sudah dikenalnya. Oke?!”
Aku belum sempat menjawab, pintu belakang terbuka. Eyang turun diiringi kopor besar perlengkapannya.
”Salam walaikum…”
Aku sampai
lupa membalas sapa Eyang, kepalaku seperti kejatuhan batu. Gila, untuk makan
sekeluarga saja masih pertanyaan! Bagaimana kalau mesti menjamu Eyang yang
hanya doyan makan masakan Eropa dan buah-buahan impor itu?
Kesalahanku berikutnya, ini sulit aku maafkan. Ketika Bos merogoh sakunya untuk mengeluarkan dompet, menalangi biaya mengurus. Eyang, dengan sigap aku kunci sikunya, sambil senyum TST menunjukkan tak ada masalah:
”Beres Bos, jangan ragu-ragu, kami akan jaga beliau, Bos berangkat saja. Kapan?”
”Ini sekarang langsung ke Cengkareng!”
Kesalahanku berikutnya, ini sulit aku maafkan. Ketika Bos merogoh sakunya untuk mengeluarkan dompet, menalangi biaya mengurus. Eyang, dengan sigap aku kunci sikunya, sambil senyum TST menunjukkan tak ada masalah:
”Beres Bos, jangan ragu-ragu, kami akan jaga beliau, Bos berangkat saja. Kapan?”
”Ini sekarang langsung ke Cengkareng!”
Aku masih
bisa tersenyum. Bangsat memang. Aku selamanya terlambat memantau kemalangan.
Barangkali memang itu bakat dasar pecundang. Tak mampu membaca proses, jadi
semua harus dijalani. Baru setelah Hummer itu lenyap, dan istriku berbisik di
telinga sembari senyum berarti: ”Dikasih berapa?” Baru aku nyahok. Rasanya
dunia kiamat.
Enak saja
itu orang-orang besar berkoar: bahwa uang bukan segalanya. Nyatanya uang tiap
detik tanpa harus dibuktikan lagi, adalah segala-galanya.
Tak paham bahaya apa yang sedang terjadi, istriku menyambut Eyang dengan hangat. Anak-anak semua dikerahkan untuk memanjakan Eyang. Orang tua yang berusia 90 tahun itu, diperlakukan sebagai berlian, layaknya seorang dewa. Dengan berbagai alasan aku menyelinap ke kamar. Setengah mati aku obok-obok almari, tapi sia-sia menemukan barang berharga yang bisa dijual. Akhirnya aku terpaksa merelakan jam tangan Rolex, suvenir Bos sendiri, ketika ia studi banding ke Hong Kong.
Tak paham bahaya apa yang sedang terjadi, istriku menyambut Eyang dengan hangat. Anak-anak semua dikerahkan untuk memanjakan Eyang. Orang tua yang berusia 90 tahun itu, diperlakukan sebagai berlian, layaknya seorang dewa. Dengan berbagai alasan aku menyelinap ke kamar. Setengah mati aku obok-obok almari, tapi sia-sia menemukan barang berharga yang bisa dijual. Akhirnya aku terpaksa merelakan jam tangan Rolex, suvenir Bos sendiri, ketika ia studi banding ke Hong Kong.
Membawa
Rolex itu, aku menyelinap ke pangkalan ojek. Aku bujuk si Kardi menjualnya
cepat.
”Duit lhu sekarang ada berapa, Di?”
Kardi menguras tas pinggangnya, ada sekitar 60 ribu.
”Di kantung celana dalammu, Bro! Hayo bantu aku. Ini soal harga diri!!”
Kardi sambil misuh-misuh terpaksa mengeluarkan simpanannya. Akhirnya aku bisa mengumpulkan 250 ribu. Itu cukup untuk malam itu. Besok soal besok.
”Duit lhu sekarang ada berapa, Di?”
Kardi menguras tas pinggangnya, ada sekitar 60 ribu.
”Di kantung celana dalammu, Bro! Hayo bantu aku. Ini soal harga diri!!”
Kardi sambil misuh-misuh terpaksa mengeluarkan simpanannya. Akhirnya aku bisa mengumpulkan 250 ribu. Itu cukup untuk malam itu. Besok soal besok.
Ketika
kembali ke rumah, istri dan anak-anakku nampak kelimpungan. Aku jadi cemas.
”Eyang hilang, Bang!” kata istriku ketakutan, ”Tadi lagi semua beres-beres untuk menetapkan kamar beliau, kami lupa memperhatikannya. Jangan-jangan beliau tersinggung. Setelah kamarnya siap, beliau kabur!”
”Padahal tadinya Eyang ikut membersihkan kamar,” lapor salah satu anakku. ”Eyang bahkan ngelap meja sambil menyanyi, Apa Apanya Dong! Dia yang merancang bagaimana mengaturnya, di mana harus meletakkan kopornya. Tapi tiba-tiba hilang! Jangan-jangan dia sudah pulang lagi!”
”Eyang hilang, Bang!” kata istriku ketakutan, ”Tadi lagi semua beres-beres untuk menetapkan kamar beliau, kami lupa memperhatikannya. Jangan-jangan beliau tersinggung. Setelah kamarnya siap, beliau kabur!”
”Padahal tadinya Eyang ikut membersihkan kamar,” lapor salah satu anakku. ”Eyang bahkan ngelap meja sambil menyanyi, Apa Apanya Dong! Dia yang merancang bagaimana mengaturnya, di mana harus meletakkan kopornya. Tapi tiba-tiba hilang! Jangan-jangan dia sudah pulang lagi!”
Aku cepat
ambi-alih kendali. Anak-anak disebar ke tetangga menyelusuri jejaknya. Ada yang
mencari ke rumah Bos. Aku sendiri lapor ke kantor polisi. Istriku gentayangan
bertanya-tanya pada siapa saja di jalanan. Hasilnya nol.
Dengan
tangan hampa, pukul 22.00 WIB kami memutuskan kembali ke rumah. Malam takbiran
sudah digelar. Lalu-lalang dan suara petasan heboh. Kami semua lelah, gerah,
lapar dan cemas.
Seperti kalah perang, kami masuki rumah. Aku mencoba menghubungi Bos lewat SMS, berharap dia masih di bandara. Tapi seperti sudah kuduga, HP-nya dimatikan. Rasanya aku makin tolol saja.
Tiba-tiba dari ruang makan ada teriakan.
”Hee, ayo buruan! Nanti keburu dingin semua!”
Kami semua terkejut, lalu bergegas ke meja makan. Di situ menunggu Eyang dengan meja penuh makanan. Kami takjub. Bau sedap mengacau otak kami.
”Ayo serbu saja, kalian sudah 30 hari kelaparan, kan?!”
Seperti kalah perang, kami masuki rumah. Aku mencoba menghubungi Bos lewat SMS, berharap dia masih di bandara. Tapi seperti sudah kuduga, HP-nya dimatikan. Rasanya aku makin tolol saja.
Tiba-tiba dari ruang makan ada teriakan.
”Hee, ayo buruan! Nanti keburu dingin semua!”
Kami semua terkejut, lalu bergegas ke meja makan. Di situ menunggu Eyang dengan meja penuh makanan. Kami takjub. Bau sedap mengacau otak kami.
”Ayo serbu saja, kalian sudah 30 hari kelaparan, kan?!”
Tanpa
menunggu komando kedua, kami menyerbu. Seperti piranha kami sikat habis yang
ada di meja. Dalam sekejap, ludas tandas semua.Eyang memperhatikan kami makan
dengan kagum. Matanya yang bersinar itu berkaca-kaca. Ia kelihatan begitu
terharu pada kerakusan kami.
”Eyang belum
pernah melihat orang menghargai makanan seperti kalian,” kata Eyang sambil
menepuk pundak anak-anakku, ”Dada ini rasanya plong, hidangan tidak ada
sisanya. Besok di samping dipesankan lagi yang lebih enak, Eyang juga akan
masak resep tradisional warisan leluhur Eyang. Setuju?!”
Kami menjawab serentak, ”Setuju!”
Kami menjawab serentak, ”Setuju!”
Habis makan,
kami pindah ke ruang depan, nonton televisi. Atas usul Eyang, anak-anak memilih
mata acara, kemudian dinikmati bersama. Itu terbalik dari kebiasaan. Biasanya
aku atau istriku yang berperan.
”Eyang heran, kenapa kalian tidak masak menjelang buka, air juga merah mengandung larutan zat besi begitu! Ternyata tidak ada beras lagi di dapur. Eyang pikir kalian berkecukupan, habis pakaiannya keren-keren begitu, eee ternyata itu keliru, kalian ternyata kere, he-he-he! Tapi tak apa. Biasa! Semua orang begitu! Besok semua biaya tanggungan, Eyang!”
”Eyang heran, kenapa kalian tidak masak menjelang buka, air juga merah mengandung larutan zat besi begitu! Ternyata tidak ada beras lagi di dapur. Eyang pikir kalian berkecukupan, habis pakaiannya keren-keren begitu, eee ternyata itu keliru, kalian ternyata kere, he-he-he! Tapi tak apa. Biasa! Semua orang begitu! Besok semua biaya tanggungan, Eyang!”
Kami
tercengang, tak percaya apa yang kami dengar. Eyang tak mencoba meyakinkan
kami. Kelihatan jenis orang tak peduli. Tak suka basa-basi, ngomong hanya satu
kali. Di mata kami, dia jadi seksi.
Lalu Eyang mengajak nonton siaran musik. Dan langsung ikut jingkrak-jingkrak edan. Tapi akhirnya, aku dan istriku ikutan joged. Rumah berubah jadi diskotik.
Lalu Eyang mengajak nonton siaran musik. Dan langsung ikut jingkrak-jingkrak edan. Tapi akhirnya, aku dan istriku ikutan joged. Rumah berubah jadi diskotik.
Ujung-ujungnya
Eyang dan anak-anak nonton pertandingan Barcelona mempermalukan Thailand 7-1.
Aku dan istriku tercengang melihat orang tua yang lanjut usia itu, berteriak dan misuh-misuh mengikuti larinya bola. Eyang seperti ornamen yang melempas dari pola yang telah lama menindasnya. Ia begitu lepas. ”Makhluk apa ini?” bisikku. Tapi kemudian kuralat. ”Makhluk dari mana sekarang aku ini?”
Esoknya dan esoknya, menjadi hari-hari baru. Ajaib, bagaimana Eyang menyulap rumah kami dalam sekejap, dari gelap, mendadak ceria dan bersemangat.
Aku dan istriku tercengang melihat orang tua yang lanjut usia itu, berteriak dan misuh-misuh mengikuti larinya bola. Eyang seperti ornamen yang melempas dari pola yang telah lama menindasnya. Ia begitu lepas. ”Makhluk apa ini?” bisikku. Tapi kemudian kuralat. ”Makhluk dari mana sekarang aku ini?”
Esoknya dan esoknya, menjadi hari-hari baru. Ajaib, bagaimana Eyang menyulap rumah kami dalam sekejap, dari gelap, mendadak ceria dan bersemangat.
Di luar
dugaan, Eyang ternyata berlapis-lapis di bawah keriputnya. Ia yang semula
terasa sebagai fosil, monster masa lalu, jebulnya menyembunyikan, memiliki
kepribadian lentur.
Tua bukan lagi tanda lapuk atau rapuh. Tapi dinamis terbuka, toleran, apa ya, pendeknya menyenangkan.
Tak sebagaimana yang kami duga, kekayaannya tidak menjadikan dia pongah atau egois. Eyang onderdil canggih yang dipasang di mana pun, klop.
Tua bukan lagi tanda lapuk atau rapuh. Tapi dinamis terbuka, toleran, apa ya, pendeknya menyenangkan.
Tak sebagaimana yang kami duga, kekayaannya tidak menjadikan dia pongah atau egois. Eyang onderdil canggih yang dipasang di mana pun, klop.
Anak-anak
terpesona. Awalnya bingung mengapresiasi, bagaimana mungkin mereka bisa luluh
dengan produk zaman baheula itu. Ternyata kenyataan bertentangan dengan teori.
Aku tak habis pikir, bagaimana Eyang bisa aktif, gesit, spontan dan ringan menghampiri kami. Khususnya anak-anak yang sering kami cap liar, bablas?
Sama sekali tanpa jarak, tanpa terasa dibuat-buat. Eyang menghampiri menjemput dan membalut kami seperti kabut menelan gunung.
Anak-anak tenggelam, lupa daratan dalam pukau Eyang. Baru pertama kali kurasakan bahwa usia, latar belakang, kondisi sosial, tidak menjegal. Tak ada yang bisa menghalangi asal manusia mau menyatu.
Pada hari keenam, Eyang mengajak kami menyewa sebuah minibus pariwisata. Lalu semua kami keliling sekitar Jakarta, mengecap situs-situs bersejarah.
Aku tak habis pikir, bagaimana Eyang bisa aktif, gesit, spontan dan ringan menghampiri kami. Khususnya anak-anak yang sering kami cap liar, bablas?
Sama sekali tanpa jarak, tanpa terasa dibuat-buat. Eyang menghampiri menjemput dan membalut kami seperti kabut menelan gunung.
Anak-anak tenggelam, lupa daratan dalam pukau Eyang. Baru pertama kali kurasakan bahwa usia, latar belakang, kondisi sosial, tidak menjegal. Tak ada yang bisa menghalangi asal manusia mau menyatu.
Pada hari keenam, Eyang mengajak kami menyewa sebuah minibus pariwisata. Lalu semua kami keliling sekitar Jakarta, mengecap situs-situs bersejarah.
Perjalanan
yang menelan waktu sepanjang hari itu sangat menarik. Meskipun juga melelahkan.
Tapi tak seorang pun nampak menyesal.
Pukul 19.00, kami baru sampai di rumah. Terkuras tetapi puas. Hanya saja mobil Hummer itu, sudah menunggu di depan rumah. Sopirnya segera menghampiri kami.
”Bapak mendadak pulang karena dipanggil Presiden ke istana, dalam rangka perombakan susunan kabinet,” katanya kepada Eyang, ”Saya diperintahkan menjemput Ibu.”
Eyang sama sekali tak menjawab, seakan-akan tak mendengar. Ia langsung mengerahkan anak-anak mandi, untuk kemudian nonton acara tv yang sudah mereka tunggu-tunggu.
Sopir agaknya sudah hapal watak Eyang. Ia tak mengejar Eyang, tapi mendesakku.
”Pak, tolong dibantu. Saya harus membawa Ibu pulang sekarang, Pak. Kalau tidak, Bapak nanti datang sendiri ke mari.”
Pukul 19.00, kami baru sampai di rumah. Terkuras tetapi puas. Hanya saja mobil Hummer itu, sudah menunggu di depan rumah. Sopirnya segera menghampiri kami.
”Bapak mendadak pulang karena dipanggil Presiden ke istana, dalam rangka perombakan susunan kabinet,” katanya kepada Eyang, ”Saya diperintahkan menjemput Ibu.”
Eyang sama sekali tak menjawab, seakan-akan tak mendengar. Ia langsung mengerahkan anak-anak mandi, untuk kemudian nonton acara tv yang sudah mereka tunggu-tunggu.
Sopir agaknya sudah hapal watak Eyang. Ia tak mengejar Eyang, tapi mendesakku.
”Pak, tolong dibantu. Saya harus membawa Ibu pulang sekarang, Pak. Kalau tidak, Bapak nanti datang sendiri ke mari.”
Begitu dia
selesai ngomong, HP-nya bunyi. Dia langsung menyodorkannya kepadaku.
”Untuk Bapak, dari Bapak.”
Aku menyambut HP.
”Halo Bos, selamat datang kembali ke Tanah Air!”
”Heee. Min! Tolong kirim sekarang juga Eyang pulang! Sekarang! Cepat!”
Aku tak sempat menjawab, karena sambungan diputuskan. Sopir mengangguk menerima HP-nya kembali. Aku merasa terjebak. Bukan jadi penting karena pegang kunci, justru sebaliknya, korban. Memang bedanya tipis.
Aku yakin, nampaknya ada sesuatu yang sudah terjadi. Sesuatu yang
tidak harus kuketahui. Aku samperin Eyang.
”Untuk Bapak, dari Bapak.”
Aku menyambut HP.
”Halo Bos, selamat datang kembali ke Tanah Air!”
”Heee. Min! Tolong kirim sekarang juga Eyang pulang! Sekarang! Cepat!”
Aku tak sempat menjawab, karena sambungan diputuskan. Sopir mengangguk menerima HP-nya kembali. Aku merasa terjebak. Bukan jadi penting karena pegang kunci, justru sebaliknya, korban. Memang bedanya tipis.
Aku yakin, nampaknya ada sesuatu yang sudah terjadi. Sesuatu yang
tidak harus kuketahui. Aku samperin Eyang.
Di luar
dugaanku, rupanya aku tidak perlu susah-payah mendesak Eyang. Meskipun itu
tidak disukainya, Eyang sudah berkemas. Ia melemparkan barang-barangnya ke
kopor.
Bahkan belum sempat aku buka mulut, Eyang sudah keluar kamar menyeret kopornya. Setelah bicara empat mata dengan istriku, ia menuangkan dirinya ke mobil.
Tanpa mengucap sepatah kata pun. Wajahnya tegang, dingin dan sunyi. Ia kembali memasuki perannya yang lama. Kami semua sedih melihat ia begitu saja hilang dari jangkauan.
Setelah Eyang pergi, rumah mati angin. TV tetap bising, tapi anak-anak terpaku beku. Aku dibakar lelah. Tiba-tiba aku menyadari begitu banyak yang sudah alpa kulakukan. Mengapa orang tuaku sendiri, nenek dan kakek asli anak-anakku tidak pernah kusikapi seperti Eyang?
Terbangun di tengah mimpi, tv masik heboh. Tapi anak-anak sudah kabur ke kamarnya. Di sampingku istriku sedang mengeluarkan duit dari amplop.
”Dari Eyang,” kata istriku menunjukkan uang itu.
Aku tidak tertarik.
”Abang tahu jumlahnya?”
Aku tidak peduli.
”Setengah milyar!”
Aku kaget.
”Berapa?”
”500.000.000!”
”Lima ratus juta?”
”Ya! Kata Eyang, ini duitnya sendiri yang dia tabung selama 20 tahun.”
Bahkan belum sempat aku buka mulut, Eyang sudah keluar kamar menyeret kopornya. Setelah bicara empat mata dengan istriku, ia menuangkan dirinya ke mobil.
Tanpa mengucap sepatah kata pun. Wajahnya tegang, dingin dan sunyi. Ia kembali memasuki perannya yang lama. Kami semua sedih melihat ia begitu saja hilang dari jangkauan.
Setelah Eyang pergi, rumah mati angin. TV tetap bising, tapi anak-anak terpaku beku. Aku dibakar lelah. Tiba-tiba aku menyadari begitu banyak yang sudah alpa kulakukan. Mengapa orang tuaku sendiri, nenek dan kakek asli anak-anakku tidak pernah kusikapi seperti Eyang?
Terbangun di tengah mimpi, tv masik heboh. Tapi anak-anak sudah kabur ke kamarnya. Di sampingku istriku sedang mengeluarkan duit dari amplop.
”Dari Eyang,” kata istriku menunjukkan uang itu.
Aku tidak tertarik.
”Abang tahu jumlahnya?”
Aku tidak peduli.
”Setengah milyar!”
Aku kaget.
”Berapa?”
”500.000.000!”
”Lima ratus juta?”
”Ya! Kata Eyang, ini duitnya sendiri yang dia tabung selama 20 tahun.”
Kantuk dan
lelahku kontan hilang. Mataku terbelalak melihat mimpi itu.
”Tidak. Kita
tidak bisa menerima itu!”
Istriku mengulurkan duit itu. Aku merasakan auranya panas. Itu perangkap. Aku pun mengelak.
”Tidak! Kita tidak boleh menerima itu! Jangan menipu orang tua. Dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Kembalikan, demi Tuhan jangan ikut bisikan setan!”
Istriku mengulurkan duit itu. Aku merasakan auranya panas. Itu perangkap. Aku pun mengelak.
”Tidak! Kita tidak boleh menerima itu! Jangan menipu orang tua. Dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Kembalikan, demi Tuhan jangan ikut bisikan setan!”
Istriku
teranjat. Aku yakin dia menganggapku edan. Tapi keputusanku itu sudah final.
”Kembalikan!”
Aku terlalu capai. Tanpa daya aku tergeret ngorok. Baru ketika ada suara-suara bising keras di sekitarku aku mendusin.
Anak-anak kembali kumpul, depan tv. Mereka menonton pertandingan bola bersama Eyang.
Istriku menghampiri lalu berbisik:
”Kembalikan!”
Aku terlalu capai. Tanpa daya aku tergeret ngorok. Baru ketika ada suara-suara bising keras di sekitarku aku mendusin.
Anak-anak kembali kumpul, depan tv. Mereka menonton pertandingan bola bersama Eyang.
Istriku menghampiri lalu berbisik:
”Eyang
kembali lagi. Bos sendiri yang mengantarkan. Katanya Eyang merasa betah,
diwongkan di sini!”
”Amplopnya?”
”Sudah aku kembalikan kepada Bos, seperti perintah Abang.”
”Bos sudah tahu berapa isinya?”
”Belum.”
”Mestinya dikasih tahu.”
”Tapi dia memberikan kita ini!”
”Amplopnya?”
”Sudah aku kembalikan kepada Bos, seperti perintah Abang.”
”Bos sudah tahu berapa isinya?”
”Belum.”
”Mestinya dikasih tahu.”
”Tapi dia memberikan kita ini!”
Istriku
menunjukkan 3 lembar ratusan ribu.
”Hanya 300
ribu untuk biaya ngurus Eyang seminggu?”
”Bukan seminggu. Eyang mau tinggal sama kita di sini sebulan!”
Aku terperanjat.
”Sebulan? Edan kenapa bukan seumur hidup!”
Aku banting 3 lembar ratusan ribu bangsat itu setelah BBM naik, itu hanya cukup untuk 4 kilo bawang.
Istriku menyabarkan, sambil menarik tanganku ke kamar.
”Sssstttt! Sudahlah, Bang, kan kata Abang biasanya, duit bukan segala-galanya!”
Aku terus berang ngedumel. Itu tak adil! Tak adil! Tapi tak menolak mengikutinya ke kamar. Malam itu dipan kami terasa makin sempit. Dan kami mencoba berjuang lagi membuktikan, duit bukan segala-galanya.
”Bukan seminggu. Eyang mau tinggal sama kita di sini sebulan!”
Aku terperanjat.
”Sebulan? Edan kenapa bukan seumur hidup!”
Aku banting 3 lembar ratusan ribu bangsat itu setelah BBM naik, itu hanya cukup untuk 4 kilo bawang.
Istriku menyabarkan, sambil menarik tanganku ke kamar.
”Sssstttt! Sudahlah, Bang, kan kata Abang biasanya, duit bukan segala-galanya!”
Aku terus berang ngedumel. Itu tak adil! Tak adil! Tapi tak menolak mengikutinya ke kamar. Malam itu dipan kami terasa makin sempit. Dan kami mencoba berjuang lagi membuktikan, duit bukan segala-galanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar