ANALISIS
STRUKTUR DALAM CERPEN “Kamboja Di Atas Nisan” Karya “ Herman RN”
A.
Deskripsi Data
Aceh
sudah sejak lama dikenal sebagai daerah yang banyak satrawan-sastrawan ternama
yang diperhitungkan dalam sastra indonesia. Kenyataan ini didukung
keikutsertaan yang berasal dari Aceh dalam perkembangan sastra modern
Indonesia. Nama-nama seperti Doel CP Alisah, Herman RN, Salman Yoga S dan
Sulaiman Tripa.
a. Biografi
Tokoh
1. Herman
RN
Herman RN lahir tgl 20
April 1983 di Ujung Pasir, Kluet Selatan, Aceh Selatan. Ia adalah alumni
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Universitas
Syiah Kuala (Unsyiah).
Hampir setiap dongeng yang didengarnya dari neneknya, ia tuliskan kembali di
buku sekolahnya. Saat kecil, dia juga suka membaca. Setiap membaca karya
sastra, sering timbul hasrat di hatinya untuk menjadi penulis buku.
Dia telah berkecimpung
dalam dunia tulis-menulis saat di bangku kuliah, tepatnya setelah tsunami
melanda Aceh, 26 Desember 2004. Untuk memperdalam tulisannya, dia bergabung
bersama Komunitas Tikar Pandan dalam program Sekolah Menulis
"Dokarim". Sebulan mengikuti sekolah menulis Dokarim, Herman mencoba
mengirimkan karyanya ke harian lokal. Ketika itu, cerpen perdananya
"Prahara di Musim Depik" dimuat harian Aceh Kita. Pada bulan ke dua mengikuti
sekolah menulis, opininya "Dalam Bincang Budaya (Kesenian) Aceh"
dimuat pula di Serambi Indonesia. Sejak saat itu, esai dan opininya dimuat di
media surat kabar di Aceh.
Ketika belajar Sekolah
Dokarim, Herman mencoba mengikuti lomba cipta cerpen pemuda tingkat nasional
yang diadakan oleh CWI dan Deputi Kementerian Pemuda dan Olahraga RI tahun
2005. Ternyata hasilnya di luar dugaan. Dia berhasil memboyong piagam
penghargaan sebagai juara III sekaligus diundang dalam workshop menulis kreatif
di Jakarta. Cerpennya tersebut berjudul "Abu Nipah" yang dibukukan
dalam La Runduma (CWI 2005). Kemudian, pada awal 2006, naskah cerita anaknya memperolah
juara III se-Aceh.
Dia pernah bergabung
dalam kesenian tutur PMTOH Aceh Modern, sebuah kelompok tutur kata hikayat yang
digagas oleh Komunitas Tikar Pandan. Selama menjadi tukang cerita PMTOH, Herman
sudah beberapa kali memainkan hikayat yang dikarangnya secara spontan di
berbagai even. Bersama kelompok "Penutur Tujuh TV Eng Ong", dia
mengunjungi barak-barak pengungsian Banda Aceh dan Aceh Besar memainkan cerita
Kota Mahilaropyam (2005). Kemudian, pada Maret-April 2006 membawa hikayat
perdamaian keliling Aceh bersama Agus Nur Amal, Muda Balia, Apa Kaoy, Udin
Pelor, Dedi Besi, dan Todhax. Karya-karyanya antara lain terkumpul dalam
Sepuluh Cermin Merah (essai, 2007)), Kitab Mimpi (Puisi, 2007), Geulanggang
Radio (Naskah Drama Radio, 2007), Meusyen (Cerpen, 2007). Bukunya cerita anak
"Indahnya Nikmat Tuhan" (Lapena, 2006). Karya-karyanya juga dimuat di
Republika Serambi Indonesia, Harian Aceh, Harian Analisa, Koran Aceh Kita,
Rakyat Aceh, Majalah Aceh Magazine, Majalah Gong, Tablodi Kontras, bulletin kampus--Detak
Unsyiah dan Cakra.
Beberapa prestasi
lainnya di antaranya juara I lomba baca puisi tingkat mahasiswa yang diadakan
oleh LDK Al-Mudarris FKIP Unsyiah, juara II baca puisi Pekan Seni Mahasiswa
Indonesia (Peksimi) tingkat Unsyiah (2004), harapan I menulis cerita rakyat
tingkat nasional oleh Pusat Bahasa Jakarta (2006), juara I menulis cerita
rakyat se-Aceh versi Dinas Kebudayaan Aceh (2006). Selanjutnya, pada tahun
2008, Herman kembali mengikuti lomba menulis cerita rakyat tingkat nasional
yang diadakan oleh Pusat Bahasa Jakarta. Karyanya, "Putri Babi"
mendapat juara III.
Saat ini, Herman tercatat sebagai editor berita (redaktur) di Harian Aceh. Dia
juga dipercayakan menjadi pengelola media adat "tuhoe"- sebuah
buletin yang diterbitkan oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh.
Selama bergabung di JKMA Aceh (2007), dia juga dipercayakan menjadi editor buku
Umar Emtas, "Peradaban Aceh (Tamdun) II".
Di samping itu, editor
buku "Anti-Tokoh" (Aneuekmulieng Publishing, 2007) ini juga pernah
dipercayakan menjadi fasilitator dan pemateri di beberapa kegiatan sastra dan
kepenulisan. Di antaranya, fasilitator pelatihan menulis untuk umum di Suramoe
Teumuleh—program Katahati Institute (2007), pemateri tamu di sekolah menulis
Dokarim untuk angkatan 2007, pemateri/fasilitator dalam kegiatan Sanggar Sastra
untuk siswa dan guru Bahasa Indonesia yang diadakan oleh Balai Bahasa Banda
Aceh (2007).
Dalam dunia akting, Herman bergiat di Teater Nol dan Gelanggang Mahasiswa
Sastra Indonesia (Gemasastrin) Unsyiah. Beberapa kali sudah melakukan
pementasan teater dan pada tahun 2004 ikut serta dalam Pekan Seni Mahasiswa
Nasional (Peksiminas) VII di Lampung. Dia juga pernah main sinetron Dalam
Dekapan-Mu (TPI, 2005) dan iklan layanan masyarakat di TVRI Aceh. Juga tampil
menjadi pembicara tentang "Seni Tutur dan Cerita Rakyat" di Aceh Tivi
(2008).
b. Sinopsis
Cerpen “Kamboja Di Atas Nisan” Karya “Herman RN”
Di suatu siang hari
dengan terik nya panas matahari, seorang gadis yang bernama kamboja tengah
menangis di atas nisan ibunya. ia mencurahkan apa yang ada di dalam hatinya.
Hingga ia menceritakan semua perjuangan-perjuangan serta penderitaan ibunya
semasa mengandungnya.
Sambil memegang nisan
ibunya dan meremas-remas gundukan tanah gadis ini menangis terisak karena tidak
mampu menahan air mata dari matanya itu. Karena telah ditinggalkan oleh ayah
dan ibunya karena dahulu kelompok bersenjata masuk ke kampungnya.
Hingga sekarang ia
harus menghadapi pahitnya peristiwa di mana pemakaman ibunya akan diratakan
oleh pemerintah kabupaten. Sangat sakit ia harus menahan tangis yang begitu
dalam. Ia tidak tahu bagaimana cara agar ia mampu mempertahankan pemakaman
ibunya sendiri supaya tidak digusur oleh pemerintah kabupaten.
Hingga
pada saat ia sedang di atas makam sang ibu, datang lelaki yang mendekat ke
arahnya. Ternyata merekalah yang akan menggusur lokasi itu. Dengan geramnya
kamboja berteriak dan mencurahkan apa yang dirasakannya kepada lelaki itu. Dan
akhirnya lelaki itu pergi meninggalkan lokasi pemakaman.
B.
Analisis Data
1. Cerpen
“Kamboja Di Atas Nisan” Karya “Herman RN”
a. Struktur
Cerpen
1. Alur
Untuk menemukan
struktur alur yang digunakan oleh pengarang di dalam cerpen ini, peneliti
berusaha melihat rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerpen. Rangkaian
peristiwa tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tokoh
(kamboja) menyusuri lekuk-lekuk batu dan meremas-remas gundukan tanah di
hdapannya sambil menahan air mata.
2. Tokoh
(kamboja) bercerita kisah ketika ibunya melahirkan dia di atas gundukan tanah
sambil menahan tangis.
2.1 Mengingat
kejadian lalu ibunya mengungsi ketika sedang mengandung kamboja karena kelompok
bersenjata datang ke kampungnya.
2.2 Kamboja
dilahirkan dalam hutan di pinggir kampung.
2.3 Ibu
kamboja di tolong oleh Nek Mah.
2.4 Nek
Mah membatu kelahiran Kamboja saat itu.
3. Tokoh
menahan nangis dan badannya bergetar dengan tangan kanan menyentuh nisan serta
tangan kirinya meremas gundukan tanah.
4. Tokoh
menceritakan tentang ayahnya meninggalkan mereka.
5. Tokoh
(kamboja) tidak dapat menahan air matanya dan kemudian menangis hingga
sesenggukkan.
6. Tokoh
(kamboja) menjatuhkan kepalanya di atas batu nisan.
7. Tokoh
(kamboja) membenturkan kepalanya ke batu itu hingga beberapa kali.
8. Tokoh
membisikkan sesuatu dengan suara yang sangat pelan.
9. Tokoh
diam setelah mengucapkan kata-kata dengan tubuh yang bergetar.
10. Tokoh
tengadah ke langit hingga tidak berkedip.
11. Tokoh
setengah berteriak mencurahkan isi hatinya.
12. Tokoh
bersimpuh di hadapan nisan ibunya dengan leher menekuk dengan tangisan yang
deras.
13. Tokoh
bercerita di atas nisan bahwa makam ibunya akan diratakan.
13.1 Dua
pekan lalu rombongan dari kabupaten mendataangi kampung mereka.
13.2 Akan
membangun hotel berstandar Internasional di lokasi pemakaman.
14. Tokoh
menangis semakin menjadi-jadi, ia bingung akan di bawa kemana mayat ibunya.
15. Tokoh
diam dan menatap nisan ibunya dari ujung atas hingga ke ujung bawah.
16. Tokoh
bangun dan berpindah ke bagian kaki ibunya dan mencium nisan di kaki ibunya
serta berbicara di hadapan nisan ibunya.
17. Tiba-tiba
ada suara kaki melangkah dan mendekati kamboja.
18. Tokoh
bangun dan berteriak ke hadapan suara kaki yang melangkah mendekatinya ternya
mereka yang akan menggusur lokasi pemakaman.
19. Lelaki
yang melangkah mendekat itu pun pergi meninggalkan makam.
2
1 3-12 13 14-19
Bagan
4.1 Urutan Sekuen Cerpen “Kamboja Di Atas Nisan”
Cerpen
ini terdiri dari 19 sekuen pada saat penceritaan dan 6 sekuen berada pada sorot
balik. Jadi seluruhnya ada 25 sekuen. Apabila diperhatikan, jumlah sekuen maju
lebih banyak darp pada sekuen sorot balik. Maka jelaslah kronologis alur cerpen
ini didudun menggunakan alur maju.
2. Penokohan
a.
Kamboja
Kamboja merupakan sosok gadis yang ditinggalkan ibunya. Ibunya meninggal
beberapa waktu lalu. Seketika mengandungnya dulu ibunya begitu banyak cobaan
yang dihadapi hingga sekarang ketika telah di makamkan masih saja ada yang
ingin mengganggunya. Lokasi makam itu akan di gusur oleh pemerintah kabupaten.
“Ibu,
jika setelah berbaring pun ketenanganmu mesti terusik, katakan pada tuhan
biarkan aku yang menggantikan kau di sini, lirihnya”
“Ibu,
bagaimana caranya mengatakan kepada mereka tentang penderitaanmu.”
“Ibu
bagaimana caranya aku mempertahankanmu besok pagi tempat ini akan diratakan.”
Berdasarkan kutipan di atas menggambarkan bahwa kamboja adalah gadis
yang lugu dan bingung dengan keadaan serta cobaan yang menimpanya.
3. Latar
Ruang
lingkup sebuah karya sastra fiksi hakikatnya adalah keberadaan sebuah dunia
yang dibangun oleh si pengarang. Latar menyangkut ruang dimana peristiwa itu
berlangsung. Oleh karena itu, latar tidak hanya merupakan bentukan sebuah
tempat yang diciptakan; melainkan ruang waktu dan latar budaya bisa saja muncul
dalam latar itu. Pada bagian latar ini akan diuraikan latar tempat dan latar
waktu yang menjadi latar dari peristiwa yang dialami oleh para tokoh di dalam
cerpen ini. Latar tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a.
Latar tempat
Pemakaman
merupakan suatu lokasi yang menggambarkan tempat peristiwa. Hal tersebut dapat
dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Tubuhnya gemetar. Perlahan tangan perempuan
itu bergerak, menyusuri lekuk-lekuk batu tanah gundukan di hadapannya.
Tangannya yang sebelah lagi meremas-remas tanah”
“Kamboja
menjatuhkan kepalanya di batu nisan tersebut. Beberapa kali ia benturkan
kepalanya ke batu itu.”
Berdasarkan
kutipan di atas pengarang menggambarkan latar tempat yang ada di dalam cerita.
Sehingga membantu pembaca untuk mengetahui tempat peristiwa itu terjadi.
b.
Latar waktu
Latar
waktu digunakan dengan tujuan melukiskan kapan suatu peristiwa terjadi. Latar
waktu pada cerpen ini sangat erat kaitannya dengan latar tempat yang sudah
dipaparkan sebelumnya. Latar waktu dalam cerpen ini dimulai pada saat Kamboja
berbisik di atas nisan ibunya.
“Suaranya pelan. Hampir tak
terdengar di antara angin siang yang sedikit kencang.”
“Kamboja berhenti sejenak. Ia
tengadah ke langit. Sinar matahari tepat menghunjam retina mata Kamboja. Ia tak
berkedip. Hanya memicingkan mata sedikit.”
Berdasarkan kutipan di atas
menggambarkan bahwa waktu di dalam cerita adalah siang hari. Tampak dari kata
angin siang yang sedikit kencang dan sinar matahri menghunjam retina mata
kamboja. Latar tempat dan latar waktu di atas sangat berpengaruh terhadap alur
cerita. Keduanya menunjukkan adanya kelogisan cerita karena setiap peristiwa
tidak akan pernah terlepas dari latar tempat dan waktu.
4.
Tema
Tema merupakan
pokok permasalahan atau konflik sentral yang terkandung di dalam cerpen. Karena
tema cerita tidak secara langsung disampaikan oleh pengarang, maka untuk
mempermudah menentukan tema, peneliti mencoba mengemukakan konflik utama yang
mendukung terbentuknya sebuah tema. Konflik tersebut adalah sebagai berikut.
”Ibu,
bagaimana lagi caranya mengatakan kepada mereka tentang penderitaanmu,
penderitaan kaum perempuan? Lihat, Ibu! Kau besarkan aku tanpa ayah. Kau
bekerja upahan untuk memberiku makan. Kau sekolahkan aku hingga tingkat
menengah. Kau pula yang mengajarkan aku agar hidup tak mudah menyerah.”
”Ibu,
bagaimana caranya aku mempertahankanmu? Besok pagi, tempat peristirahatanmu ini
akan diratakan. Kau ingat dulu waktu kampung kita berkecamuk? Orang-orang
kampung berperang dengan tentara pemerintah. Kini, tentara pemerintah pula yang
akan menjarah rumahmu ini, Ibu.”
Berdasarkan
kutipan di atas jelaslah tema yang diangkat pengarang yaitu tentang “
perjuangan seorang anak yang rela menunggu pemakaman ibunya setiap hari dan
menangis terisak untuk menjaga makan sang ibu agar tidak digusur.”
LAMPIRAN
1. OBJEK PENELITIAN
KAMBOJA
DI ATAS NISAN
Oleh
Herman RN
Tubuhnya gemetar. Perlahan tangan perempuan itu bergerak,
menyusuri lekuk-lekuk batu tanah gundukan di hadapannya. Tangannya yang sebelah
lagi meremas-remas tanah. Badannya kian bergetar hebat tatkala ia berusaha
menahan air yang nyaris melabrak kelopak matanya.
”Ibu, apa
karena kita perempuan?” lirihnya.
Gadis itu menghela napas. Kamboja, demikian namanya. Ia
anak tunggal. ”Ibu, kau sudah melahirkanku dalam keadaan susah payah. Saat itu
kita harus mengungsi karena kampung kita didatangi kelompok bersenjata.
Orang-orang kampung kita pun diklaim sebagai pemberontak. Ibu lari
terbirit-birit sambil membawaku dalam perut ibu. Begitu cerita yang kudengar
dari Nek Mah, bidan kampung kita,” ucapnya sambil menahan tangis.
Kamboja dilahirkan dalam hutan di pinggir kampungnya. Saat
itu, mereka mengungsi hingga empat puluh hari. Ia lahir pada hari kelima di
pengungsian. Saat itu, ibu Kamboja ditolong oleh Nek Mah, seorang perempuan
setengah baya yang sebenarnya bukan bidan, pun bukan dokter. Kebetulan Nek Mah
pernah diajarkan sebuah isim* oleh orangtuanya. Isim itu disebut seulusoh*
dalam bahasa mereka. Dengan keahlian seulusoh itulah, Nek Mah membantu ibu
Kamboja melahirkan. Kamboja lahir sungsang. Kakinya lebih dahulu menonjol, baru
kemudian kepala.
”Ibu,
kata Nekmah, ibu sangat kesakitan ketika melahirkan aku. Perut ibu serasa
dililit akar. Perih. Nek Mah pula yang mengatakan kalau perih ibu ditolong
dengan daunmariam. Ibu, bisa kubayangkan menderitanya ibu saat itu. Aku yang
lahir sungsang, ibu yang kesakitan. Sedangkan ayah? Ibu….”
Kamboja masih berusaha menahan tangis. Tubuhnya bergetar
semakin kencang. Tangan kanannya terus menelusuri lekuk batu nisan di tanah
gundukan di hadapannya. Tangan kirinya semakin kuat mencengkeram tanah di
sampingnya.
”Aku tak
bisa menyalahkan ayah, Ibu. Ayah memang meninggalkan ibu, meninggalkan kita.
Tapi, ayah terpaksa. Kaum laki tak boleh hidup di kampung kita waktu itu. Semua
lelaki lari dan bersembunyi. Makanya banyak yang memilih bergabung dengan
kelompok pemberontak. Perempuan diminta untuk di rumah, jika tak mau mengungsi
ke hutan. Aku tahu itu, Ibu. Hanya saja, mengapa kita tidak boleh ikut melawan,
Ibu? Apa karena kita perempuan?”
Kamboja akhirnya tidak dapat menahan air matanya. Ia
sesenggukan. Bening yang telah lama mengambang itu pecah juga dari balik
kelopak matanya yang berbulu lentik. Satu per satu bening itu jatuh menimpa
pinggiran nisan ibu Kamboja.
”Ayah
mati terkena peluru nyasar. Tepat sehari sebelum perjanjian damai antara
pemberontak dan pemerintah. Apa salah ayah? Ah, terlalu sulit memberi alasan
antara salah dan benar di kampung ini, Ibu. Mengapa terlalu cepat ibu
tinggalkan aku?”
Kamboja menjatuhkan kepalanya di batu nisan tersebut.
Beberapa kali ia benturkan kepalanya ke batu itu. Ia bisikkan sesuatu di sana.
Suaranya pelan. Hampir tak terdengar di antara angin siang yang sedikit
kencang.
”Ibu,
jika setelah berbaring pun ketenanganmu mesti terusik, katakan pada Tuhan,
biarkan aku yang menggantikan kau di sini,” lirihnya.
Lama Kamboja diam setelah mengucapkan kata-kata itu.
Tubuhnya masih bergetar, kendati matahari sudah di puncak kepala. Kamboja mandi
keringat. Namun, sedikit pun ia tak menyeka keringat itu. Ia bahkan nyaris
melupakan letak kerudungnya yang melorot ke pundak. Rambutnya yang biasa
tersimpan rapi di balik kerudung itu mulai tampak. Angin pun membelai rambut
hitam keriting itu.
”Ibu,
bagaimana lagi caranya mengatakan kepada mereka tentang penderitaanmu,
penderitaan kaum perempuan? Lihat, Ibu! Kau besarkan aku tanpa ayah. Kau
bekerja upahan untuk memberiku makan. Kau sekolahkan aku hingga tingkat menengah.
Kau pula yang mengajarkan aku agar hidup tak mudah menyerah.”
Kamboja berhenti sejenak. Ia tengadah ke langit. Sinar
matahari tepat menghunjam retina mata Kamboja. Ia tak berkedip. Hanya
memicingkan mata sedikit.
”Tuhan…,”
suara Kamboja setengah menjerit. ”Apalagi yang akan kau timpakan kepada kami?
Tidak cukupkah derita masa hidupnya? Setelah ia berbaring di tanah-Mu, apakah
harus diusik juga? Jawab, Tuhan? Bukankah kau Maha Mendengar?! Mengapa Kau
diam? Nanti atau besok, tanah ini akan diratakan, di mana aku harus menempatkan
ibuku? Tak cukupkah masa perang tanah air kami dirampas? Di mana Kau Tuhan saat
kampung kami dalam perang? Di mana pula Kau saat sudah damai?”
Kamboja sesenggukan. Ia bersimpuh di hadapan nisan ibunya.
Lehernya menekuk. Kepalanya nyaris menyentuh lutut. Tubuhnya masih terus
bergetar. Isaknya pun mulai deras.
”Ibu,
bagaimana caranya aku mempertahankanmu? Besok pagi, tempat peristirahatanmu ini
akan diratakan. Kau ingat dulu waktu kampung kita berkecamuk? Orang-orang
kampung berperang dengan tentara pemerintah. Kini, tentara pemerintah pula yang
akan menjarah rumahmu ini, Ibu.”
Dua pekan lalu, rombongan dari kabupaten mendatangi kepala
kampung tempat Kamboja tinggal. Mereka membicarakan soal pembangunan hotel
berbintang yang akan didirikan di kampung itu. Menurut berita, hotel itu akan
dibangun dengan standar internasional. Ada mal juga nantinya di dalam hotel
tersebut. Untuk itu, akan terjadi pembebasan tanah. Salah satu lokasi yang
mendapat imbas pembebasan tanah adalah kompleks pemakaman umum korban konflik.
Di sanalah ibu Kamboja dan sejumlah janda konflik dimakamkan. Menurut investor,
lahan pekuburan massal itu sangat strategis untuk dibangun hotel mahamegah.
”Ibu,
sampai saat ini aku tidak tahu di mana ayah dikuburkan. Mayatnya pun tak ada
yang menemukan. Ibu dimakamkan di sini sebagai janda konflik. Ibu adalah ibu
sekaligus ayah bagiku. Dulu, mereka (pemerintah—Pen) yang membuat lokasi
pemakaman di sini. Alasannya, dekat dengan kompleks pemakaman pahlawan masa
Belanda. Kini, mereka pula yang akan menggerus pemakaman ini, Ibu. Pemerintah
itu tidak punya otak, Ibu. Mereka hanya memikirkan uang, uang, dan uang.”
Tangis
Kamboja semakin menjadi. ”Ke mana ibu akan kubawa? Kita tak punya apa-apa lagi.
Apa Ibu harus kubawa ke kota tempatku sekarang? Di kota, aku menyewa rumah
kontrakan sederhana sambil melanjutkan sekolah. Aku sekolah ke kota demi Ibu.
Ibu yang mengatakan bahwa perempuan juga harus punya cita-cita, harus sekolah
tinggi. Kata Ibu, aku harus sekolah hingga ke universitas. Dari jauh aku selalu
berdoa agar Ibu bisa istirahat dengan tenang di kampung kita. Setiap libur
sekolah, aku selalu menjengukmu. Jika esok hari pemakaman ini akan diratakan
oleh pemerintah demi gedung bertingkat, ke mana lagi aku akan melihat Ibu saat libur
semester nanti?”
Kali ini
Kamboja terdiam lebih lama. Ia berusaha mengatur napas. Ia tatap bagian kepala
nisan ibunya. Lalu tatapannya berpindah ke bagian badan. Selanjutnya ke batu di
bagian kaki. Lama tatapan itu berhenti di sana.
Kamboja bangkit, menuju bagian kaki ibunya. Ia duduk
perlahan. Kedua telapak tangannya menyentuh batu nisan itu. Lalu, kepalanya ia
tundukkan agar dapat mencium nisan di kaki ibunya.
”Ibu,
terimalah sembah sujudku. Ampuni segala ketidakberdayaanku. Aku berjanji akan
berusaha mempertahankan Ibu walau mungkin itu mustahil. Di tempat ini, bukan
hanya
ibu dikuburkan. Masih banyak korban konflik lainnya. Mustahil memang bagiku
untuk mempertahankan Ibu sendiri, sedangkan keluarga korban lainnya sudah
menerima uang pembebasan tanah ini. Mereka telah menjual ayah ibunya yang
dimakamkan di sini. Mereka lebih memilih setumpuk uang dari pemerintah tanpa
menyadari orangtuanya di sini akan dipijak-pijak, akan diluluhlantakkan dengan
mesin penggiling.”
Kamboja
mengangkat kepala. Dipandanginya nisan ibunya dengan garang. Tatapannya
nyalang. ”Aku tidak akan menjual Ibu kepada pemerintah atau kepada siapa pun.
Meski aku harus mati di sini, aku tetap akan mempertahankan Ibu.”
Kamboja
kembali menangis, tapi kali ini suaranya memelan. ”Ibu, ajari aku bagaimana
caranya melawan pemerintah? Aku tidak punya senjata, Ibu!”
Perlahan
terdengar suara langkah kaki mendekat. Sayup-sayup ada yang bicara.
”Di
sinilah akan kita bangun hotel itu, Pak. Luasnya seribu meter persegi, hingga
di pojok sana,” ucap sebuah suara penuh semangat.
”Di situ?
Bukankah itu kompleks pemakaman?” suara parau menyela.
”Benar, Pak. Tapi, Bapak
tenang saja. Semua sudah diatur. Izin penggunaan lahan pemakaman ini sudah
diurus. Semua orang yang punya hubungan kekerabatan dengan yang dimakamkan di
sini sudah didatangi. Mereka mendapatkan haknya. Semua sudah beres, Pak.”
”Pemakaman apa itu?”
”Pemakaman korban konflik,
Pak.”
”Hm…, apa tidak berbahaya
nantinya mendirikan hotel di atas makam, makam korban konflik pula? Pasti ada yang
mati berdarah di sini.”
”Ah, Bapak ini ada-ada saja.
Mana ada orang mati bisa hidup lagi.”
Kamboja bangkit. Dari makam
ibunya, ia berteriak. ”Siapa pun kalian, menghormati hak-hak orang yang masih
hidup itu memang susah, apalagi rakyat kecil. Namun, menghormati ketenangan
orang yang sudah mati, apakah juga tidak kalian miliki? Di mana nurani kalian?
Di sini terkubur saksi kezaliman masa konflik. Apa kalian mau mereka jadi saksi
kezaliman kalian di hadapan Tuhan?”
”Siapa dia?”
”Dia, Pak? Dia kayaknya orang
gila. Sudah tiga hari dia menangis terus di makam itu.”
Kamboja mendekati orang
tersebut. ”Ya, saya sudah gila. Saya gila karena mempertahankan hak-hak orang
mati. Makam ini adalah rumah mereka yang telah istirahat dengan tenang. Saya
gila karena menginginkan ketenangan mereka. Sedangkan kalian, gila karena ingin
hotel megah tanpa melihat penderitaan orang lain.”
Lelaki yang sedari tadi
disapa ”bapak” berbalik meninggalkan lokasi pemakaman. ”Anda bilang semua sudah
beres. Kasus makam ini ternyata belum selesai,” ujarnya sembari meninggalkan
tempat itu.
Darussalam, 2012-2013
Ilustrasi Karya : Jitet
Kustana
Terbit di Harian Kompas pada 5 Januari 2014